Cegah Tarif Listrik Naik, DMO Batu Bara Jangan Dihapus!

Khoirul Anam, CNBC Indonesia
Kamis, 27/01/2022 14:30 WIB
Foto: PT Indonesia Power melalui Unit Pembangkitan (UP) Suralaya menegaskan jika Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ini tidak menyumbang polusi untuk Jakarta. (CNBC Indonesia/Nia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak terjadinya isu krisis batu bara untuk pembangkit listrik dalam negeri, pemerintah terutama melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menggaungkan rencana pelepasan harga batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO) khususnya untuk pembangkit listrik menjadi harga pasar dari saat ini dipatok maksimal US$ 70 per ton.

Meski harga DMO tak sepenuhnya dilepas ke harga pasar karena selisih antara harga pasar dan patokan US$ 70 per ton direncanakan akan ditanggung dari pungutan batu bara, namun rencana ini dinilai tidak efektif.

Pengamat ekonomi energi Fahmy Radhi menilai ketentuan DMO batu bara masih tetap diperlukan, termasuk juga terkait volume persentase minimal 25% dari total produksi setiap perusahaan batu bara setiap tahunnya. Hal ini terutama guna mencegah terjadinya kenaikan tarif listrik pada masyarakat.


Menurutnya, dengan volume batu bara untuk kepentingan domestik diatur minimal 25%, maka harga patokan maksimal sebesar US$ 70 per ton seharusnya tidak menjadi masalah bagi para pengusaha batu bara, karena 75% sisanya sudah mengikuti harga pasar dan diekspor.

"Kalau pengusaha mau untung 100%, agak serakah. Maka sangat ironis kalau batu bara justru akan menyengsarakan rakyat. Karena ancaman kenaikan tarif listrik tak bisa dihindari," ungkap Fahmy dalam "Diskusi Media Krisis Batu Bara Dalam Negeri", Rabu (26/1/2022).

Ia menegaskan, DMO sebesar 25% merupakan bentuk intervensi negara dalam pasar liberal. Itu pun masih dalam porsi minoritas, sehingga dinilai tidak akan merugikan pengusaha.

Kalaupun diganti dengan iuran batu bara melalui skema Badan Layanan Umum untuk menutup selisih harga pasar yang akan dibeli PLN, menurutnya ini seolah-olah meminta belas kasihan pengusaha batu bara.

"Kalau kemudian diganti dengan skema BLU (Badan Layanan Umum), di mana BLU beli dengan harga pasar dan diganti iuran. Ini kayak belas kasihan," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, pemberian sanksi terhadap perusahaan batu bara yang tidak memenuhi DMO seharusnya diperberat.

"Kalau selama ini berupa denda bagi yang tidak memenuhi DMO, sanksi itu harusnya izin produksi dicabut atau larangan ekspor. Itu akan efektif agar pengusaha memasok DMO tadi," ungkap dia.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Batubara Sebagai Tulang Punggung Ketahanan Energi Nasional