Biden Pening, Ada Krisis Baru Hantui AS
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis kelangkaan barang mulai melanda Amerika Serikat (AS). Beberapa laporan menyebutkan banyak rak-rak swalayan kosong di negara adi kuasa itu.
Dalam laporan Reuters, para konsumen disebut-sebut telah mengeluhkan hal ini dalam sebuah video yang viral. Hal-hal seperti sayur, pasta dan daging kosong di beberapa cabang supermarket Walmart bahkan tisu dan produk kebersihan rumah di Publix dan Cotsco pun juga dilaporkan hilang.
Bukan hanya itu, harga barang-barang pun melambung. Indeks Harga Konsumen (CPI/IHK) naik 0,5% pada Desember 2021, setelah naik 0,8% di November sebelumnya.
Harga konsumen AS meningkat kuat pada Desember karena harga sewa yang tinggi. Dalam 12 bulan hingga Desember, IHK melonjak 7,0%, peningkatan year-to-year (yoy) terbesar sejak Juni 1982 dan mengikuti kenaikan 6,8% pada November.
Presiden AS Joe Biden pun buka suara soal ini. Ia menyebut ada gangguan rantai pasok dan pengiriman akibat pandemi Covid-19. Meski demikian, ia berujar ini mengindikasikan adanya pemulihan daya beli masyarakat AS.
"Inflasi ada hubungannya dengan rantai pasokan," kata Biden selama konferensi pers setahun kepemimpinannya, Rabu waktu setempat.
Menteri Keuangan Janet Yellen sendiri memprediksi lonjakan harga ini akan surut dan inflasi akan turun kembali mendekati dua persen pada akhir tahun 2022. Hal ini diakibatkan mulai lancarnya pasokan dan juga kenaikan suku bunga pinjaman.
"Jika kita berhasil mengendalikan pandemi, saya berharap inflasi akan berkurang sepanjang tahun dan mudah-mudahan kembali ke level normal pada akhir tahun," kata Yellen di kepada CNBC International.
Meski begitu, banyak ekonom dan oposisi Partai Republik mengatakan bahwa inflasi dan kelangkaan ini juga dimotori oleh stimulus federal besar-besaran senilai US$ 1,9 triliun yang dilontarkan Biden dan kabinetnya dengan dalih pemulihan pandemi. Bahkan, mereka menggambarkan situasi kali ini sebagai "Bidenlation."
"Tahun lalu, melimpahnya dolar federal yang telah dipompa ke ekonomi kita, telah memicu lonjakan harga," kata Stephanie Bice, seorang anggota parlemen dari Partai Republik dari Oklahoma.
Sementara itu, beberapa ekonom mengatakan bahwa jumlah stimulus itu memang terlalu besar. Profesor ekonomi Harvard Jason Furman mengklaim dana sekitar US$ 1 triliun saja sebenarnya sudah cukup.
"Pandangan saya tahun lalu adalah bahwa RUU stimulus diperlukan tetapi harus lebih kecil," ujar profesor yang juga mantan penasihat ekonomi Obama itu.
(tps/tps)