
Kisah Runtuhnya Negara Petrodollar, BUMN Migas Mau Kolaps

Jakarta, CNBC Indonesia - Venezuela dulu merupakan raksasa migas. Di 2008, negara itu memproduksi 3,2 juta barel minyak per hari.
Namun sayangnya saat ini, negara itu hanya mampu mengumpulkan 500.000 hingga 1 juta barel/hari. Ini fakta di tengah krisis ekonomi yang parah yang ditandai dengan bertahun-tahun resesi dan hiperinflasi.
Meskipun memiliki cadangan minyak terbukti terbesar di dunia, negara di Amerika Latin itu berjuang melawan kekurangan bahan bakar dan memadaman listrik. Pada satu titik bahkan harus mengimpor bahan bakar dari Iran.
Kini, produk domestik bruto per kapita Venezuela mirip dengan Haiti. Apa yang terjadi?
Semuanya berawal ketika Hugo Chavez berkuasa pada tahun 1999. Huru hara terjadi di perusahaan minyak nasional Venezuela, Petroleos de Venezualea (PDVSA).
Analis percaya, momen petaka itu muncul kala Chavez ribut dengan eksekutif PDSVA. Pemogokan besar-besaran bahkan terjadi di Desember 2002 hingga Maret 2003, yang membuat produksi turun terendah dalam sejarah yakni 25.000 barel/hari.
![]() Stickers showing former Venezuelan President Hugo Chavez and President Nicolas Maduro are stuck to the door of Maria Guitia's home near San Francisco de Yare, Venezuela, February 20, 2019. REUTERS/Carlos Garcia Rawlins SEARCH "RAWLINS GUZMAN" FOR THIS STORY. SEARCH "WIDER IMAGE" FOR ALL STORIES. |
Buntutnya, ia memecat sebagian besar manajemen PDVSA dan ribuan karyawan. Lalu menggantinya dengan orang-orang yang "setia pada revolusi" yang seringkali tidak memiliki keahlian yang diperlukan.
Produksi memang pulih setelah pemogokan. Namun 70 bisnis yang terlibat dalam rantai pasokan juga dinasionalisasi.
Nasionalisasi oleh presiden yang wafat 2013 itu malah membawa pengaruh buruk lain. Pemeliharaan berkurang bahkan karyawan harus menghadapi pemotongan gaji.
Cekungan Maracaibo misalnya dulu pernah menjadi pusat aktivitas minyak. Namun sekarang, wilayah itu hanya rawa lembab dan bau minyak akibat kebocoran pipa besar yang mengambang di atas air.
"Hampir tidak ada orang yang mengambil risiko pergi ke daerah itu karena takut akan ledakan karena gas," kata seorang nelayan kepada AFP, Rabu (19/1/2022).
Seorang karyawan, sebut saja Carlos, mengaku banyak pekerja menderita karena kebijakan semena-mena perusahaan. Bahkan banyak pekerja bercerai.
"Banyak wanita meninggalkan suaminya karena mereka tidak lagi bekerja untuk PDVSA. Keluarga bubar. Penghasilan saya tidak cukup lagi," katanya.
Beberapa karyawan menyalahkan situasi ini ke direksi yang diangkat secara politik. Walhasil, beberapa orang yang memang ahli dan berpengalaman di perusahaan itu disingkirkan.
"Mempekerjakan orang berdasarkan politik mereka sangat mempengaruhi produksi... kami menyingkirkan orang-orang yang berpengalaman, dan segala bentuk meritokrasi menghilang," kata salah seorang pekerja, sebut saja Maria.
"Itu juga menciptakan tempat berkembang biak bagi korupsi dengan penggelapan di tingkat tertinggi."
Maria menambahkan bahwa hal ini juga diperburuk oleh sanksi barat atas negara itu. Ia menyebut banyak peralatan dan fasilitas kilang yang tidak dapat dirawat lagi karena kekurangan suku cadang.
"Kami berada di tangan Tuhan sekarang. Tidak ada karyawan minyak yang bisa hidup dari upah PDVSA mereka," tambahnya.
Sementara itu, di 2017, pihak berwenang meluncurkan operasi besar-besaran yang menargetkan korupsi di dalam PDVSA. Bahkan menyelidiki mantan presiden perusahaan Rafael Ramirez.
"Mereka menyita sumber daya publik," kata Jaksa Agung Tarek William Saab saat itu.
(tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Iran & Venezuala 'Bersatu' Soal Minyak, Hadapi Sanksi AS