
Kejar Netral Karbon di 2060, Tapi Capaian Pembangkit EBT Mini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tela menyusun road map atau peta jalan menuju netral karbon pada 2060 atau lebih cepat.
Sejatinya pencapaian netral karbon di 2060 itu akan didukung dengan pengembangan pembangkit listri hijau atau energi baru dan tebarukan (EBT). Nah, sayangnya dari data Kementerian ESDM capaian atau realisasi pengembangan pembangkit EBT baru mencapai 111,5%.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengungkapkan, capaian bauran EBT pada 2021 hanya naik 0,3% dari tahun sebelumnya yang mencapai 11,2%.
"Porsi bauran EBT untuk 2021, capaian kita di 2021 angkanya 11,5 persen. Naik dari posisi tahun 2020 dengan jumlah kumulatif 151,6 juta barel oil equivalent," jelas Dadan dalam konferensi pers, Senin (17/1/2022).
Lebih lanjut, Dadan menjelaskan bahwa dalam percepatan transisi energi nasional, hal pertama yang harus dipastikan adalah nilai ekonomi karbon memiliki landasan regulasi dan kaitannya dengan penerapan pajak karbon.
Dalam penerapan pajak karbon nanti akan dikenal dengan istilah cap, tax, and trade. Di mana, kata Dadan saat ini Kementerian ESDM sedang memfinalisasi besaran cap, atau batasan tertinggi dari pembangkit yang terkait dengan emisi gas rumah kaca.
"Misalkan berapa kilogram CO2 yang boleh dirilis ke atmosfer untuk kWh yang diproduksinya. Akan disusun dan untuk yang punya cadangan emisi gas rumah kaca. Nanti akan dijelaskan dari Dirjen Listrik terkait implementasi cap, tax, and trade," jelas Dadan.
Adapun untuk bisa mencapai net zero emission (NZE) atau karbon netral pada 2060, kata Dadan Indonesia tidak akan selamanya bebas karbon.
"Tidak diartikan semata-mata kita bebas CO2 (karbon dioksida/polusi di udara), kalau ada bebas emisi CO2, ada juga kegiatan untuk menyerap," tuturnya.
Adapun pada 2021 hingga 2025, diharapkan penurunan emisi 198 juta ton CO2 pada 2025. Dengan kebutuhan implementasi PLTS Atap 3,6 Gigawatt (GW), pembangunan PLT EBT kapasitas 10,6 GW.
Serta Gasifikasi pembangkit gas 1,7 GW, take out PLTU 8,8 GW pada RUPTL, konversi PLTD ke pembangkit EBT, dan PLTGU 0,8 GW sebagai pengganti PLTU.
Kemudian dalam rentang 2031-2035, ditargetkan penurunan emisi hingga 475 juta ton CO2 pada 2035. Dengan rencana, tidak ada penambahan pembangkit fosil, tidak ada PLTD lagi, dan retirement PLTU 6GW.
Dalam rencana 2031-2035 juga akan direncanakan dengan pembangunan pembangkit EBT yang terdiri dari PLTS 99 GW, Hydro 3,1 GW, Bioenergi 3,1 GW, dan PLTP 5,6 GW. Pemanfaatan hidrogen 328 MW, dan penggunaan baterai 7 GW.
Pada 2041-2050, diharapkan terjadi penurunan emisi hingga 956 juta CO2 pada 2050, dengan rencana retirement PLTU 31 GW, pembangunan pembangkit EBT yang terdiri dari PLTS 180,2 GW, PLTB 17,5 GW, hydro 13,7 GW, bioenergi 23 GW, PLTP 3 GW, OLTAL 1,3 GW, dan nuklir 5 GW. Juga pemanfaatan hidrogen 9 GW dan penggunaan baterai 151 GW.
"Di 2026 hingga 2060 termasuk dimulainya peristirahatan dengan beberapa PLTU tidak beroperasi setelah 2030-2035. Retirement PLTU sampai 2040 dan dilanjutkan retirement 2036-2040 dan akan menyelesaikan di 2054," jelas Dadan.
Apabila pada 2054 tidak ada teknologi-teknologi yang bisa memastikan CO2 yang bisa merilis tenaga uap dengan batu bara, dan disaat yang sama digantikan berbasis EBT.
"Cukup kah nanti atau potensi sumber daya-nya? jawabannya cukup. Tapi teknologinya yidak bisa dipastikan. Akan lihat pemanfaatan hidrogen dan pemanfaatan untuk yang lain termasuk kendaraan," jelas Dadan.
Sementara itu pada 2051-2060 pemerintah menargetkan untuk penurunan emisi 1.526 juta ton CO2 pada 2060. Dengan retirement PLTU 8 GW, retirement PLGU 8 GW.
Serta pada 2051-2060 juga akan dilakukan pembangunan pembangkit EBT 8,2 GW, PLTB 11,6 GW, hydro 37,9 GW, bioenergi 2,1 GW, PLTP 3 GW, PLTAL 12,1 GW, dan nuklir 30 GW. Serta pemanfaatan hidrogen 52 GW dan penggunaan baterai 140 GW.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 90% Konsumsi Energi Masih Dari Batu Bara Cs, Ganggu Transisi?
