Pak Jokowi, Ini Sederet Solusi Hindari Kelangkaan Batu Bara

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
10 January 2022 16:15
Pekerja membersihkan sisa-sisa batu bara yang berada di luar kapal tongkang pada saat bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). Pemerintah Indonesia berambisi untuk mengurangi besar-besaran konsumsi batu bara di dalam negeri, bahkan tak mustahil bila meninggalkannya sama sekali. Hal ini tak lain demi mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat, seperti yang dikampanyekan banyak negara di dunia. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelangkaan batu bara di tanah air membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas menerbitkan aturan pelarangan ekspor batu bara. Di mana pengusaha harus memenuhi terlebih dahulu pasokan batu bara di dalam negeri sebelum melaksanakan kegiatan ekspor.

Jokowi bahkan menegaskan jika ada pengusaha batu bara yang tidak memenuhi suplai batu bara di dalam negeri, maka dilarang mengekspor batubara dan izin usahanya akan dicabut.

Hal tersebut diumumkan Jokowi usai PT PLN (Persero) mengabarkan, bahwa telah terjadi kelangkaan pasokan batu bara untuk kebutuhan listrik di tanah air.

Kendati demikian, sejumlah pengamat hingga pengusaha swasta menilai usaha yang dilakukan pemerintah untuk menggertak pengusaha batu bara tersebut tidak cukup.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, upaya pemerintah tersebut hanya semacam shock therapy bagi pengusaha batu bara.

"Karena dari data tidak semua produsen batu bara memenuhi DMO untuk memasok 25% dari produksi untuk pasar dalam negeri dengan harga US$ 70 per ton," jelas Fabby kepada CNBC Indonesia, Senin (10/1/2022).

Lagi pula, menurut Fabby untuk memasok batu bara ke pembangkit-pembangkit PLN dan swasta bukan perkara mudah.

Pasalnya, kebutuhan batu bara PLN juga banyak yang tidak sesuai dengan kadar batu bara yang dihasilkan oleh para pengusaha.

"PLN butuh batu bara dengan kalori 4.200 sampai 5.300 Tidak seluruhnya (hasil pertambangan batu bara) bisa matching dengan itu," tuturnya.

Selain itu untuk produksi batubara 25% dari keseluruhan produksi, dinilai Fabby masih terlalu kecil, dan tidak semua pengusaha batu bara memiliki fasilitas atau logistik/infrastruktur yang mendukung.

Ditambah, berdasarkan data pemerintah terdapat lebih 400 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak memenuhi ketentuan DMO batu bara. Sementara mengawasi ratusan IUP ini tidak mudah.

"Jadi, solusi jangka panjang yang harus dipastikan perlu adanya upaya untuk memasok tadi," jelas Fabby.

Fabby menyarankan agar pemerintah memikirkan mekanisme, di mana kewajiban DMO batu bara itu diberikan kepada Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), dan IUP dicari mekanisme lain dan tetap dicarikan DMO 25%.

Untuk PKP2B, saran Fabby, bisa saja memasok batu bara sebesar 25% dengan harga yang juga dipatok US$ 70 per ton, namun juga ada kewajiban pasokan tambahan 10% - 15% dengan harga yang disesuaikan dengan harga pasar. "Ini membuat pasokan batu bara lebih aman," terang Fabby.

Bersamaan dengan itu, Arthur Simatupang Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Listrik Swasta Indonesia (APLSI) berharap, adanya kepastian hukum unutk kontrak-kontrak jangka panjang.

Misalnya PLTU milik IPP yang memiliki kontrak jangka panjang. dengan PT PLN untuk menyediakan listrik ke PLN dan PLN memiliki mandat menyediakan listrik ke konsumen dan industri.

"Dalam hal ini PLTU sumber batu bara butuh balancing matang dan punya kontrak pasokan batubara untuk 3-6 bulan dan punya kontrak multiyears," ujar Arthur dalam kesempatan yang sama.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tak Pasok PLN, Jokowi Ancam Cabut Izin Perusahaan Batu Bara!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular