
Ekspor Disetop, Siap-Siap Stok Batu Bara Numpuk!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor batu bara sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022 mendatang. Kebijakan ini keluar setelah adanya laporan dari PT PLN (Persero) bahwa stok batu bara untuk pembangkit listrik dalam kondisi kritis.
Kebijakan yang dinilai mendadak ini mendatangkan protes dari para penambang. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyebut, kebijakan larangan ekspor batu bara selama sebulan ini berdampak pada terganggunya arus kas produsen batu bara, adanya tambahan biaya kepada perusahaan pelayaran terhadap penambahan waktu pemakaian (demurrage) kapal yang cukup besar sekitar US$ 20 ribu sampai US$ 40 ribu per hari per kapal karena kapal-kapal dioperasikan atau dimiliki oleh perusahaan-perusahaan dari negara tujuan ekspor, hingga deklarasi keadaan kahar atau force majeure.
Begitu juga dari sisi pertambangan, kebijakan pelarangan ekspor batu bara ini diperkirakan akan berdampak pada terjadinya penumpukan stok batu bara di stockpile dan stock Run Off Mine (ROM) tambang.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli.
"Dampak yang terjadi pada aktivitas pertambangan sampai satu bulan ke depan adalah akan terjadi penumpukan stok batu bara di stockpile dan stock Run Off Mine (ROM) tambang. Dengan total produksi per bulan secara nasional mencapai 52 juta ton, sementara kebutuhan DMO (Domestic Market Obligation) per bulan sebesar 12-13 juta ton, maka akan ada sisa hasil produksi yang tidak terpasarkan berkisar 40 juta ton," paparnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (06/01/2022).
Dia menilai, bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) kecil dan menengah, hal ini kemungkinan tidak akan menimbulkan masalah berarti karena batu bara hasil produksinya masih bisa disimpan di stockpile dan stok ROM tambang, serta kegiatan pemindahan overburden removal masih bisa dilakukan.
"Namun tidak demikian dengan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) dan IUP dengan produksi yang besar. Dengan produksi batu bara yang besar, belum tentu semua bisa ditampung di lokasi stockpile dan stock ROM tambang, sehingga mungkin saja akan menyebabkan pengurangan atau penghentian produksi sementara waktu," tuturnya.
Namun dia mengakui bahwa pada dasarnya pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan ekstrem ini jika produser batu bara memiliki niat baik dan konsisten untuk menyuplai batu bara sesuai aturan DMO.
Sebagaimana diketahui, lanjutnya, pemerintah setiap tahun telah menetapkan kebutuhan batu bara nasional untuk pemenuhan pasokan PLTU PLN dan IPP. Kebutuhan tersebut lalu dibagi secara proporsional kepada pemegang IUP dan PKB2B, sebagai kewajiban memasok hasil produksinya ke PLN dan IPP. Sisanya, maka hasil produksi batu bara tersebut diperbolehkan untuk diekspor.
"Yang jadi masalah, tak semua pelaku usaha memenuhi kewajiban tersebut secara baik dan konsisten," ucapnya.
Disparitas harga yang terlalu jauh antara harga DMO dan luar negeri diakuinya menjadi salah satu penyebabnya. Para produser batu bara lebih mengutamakan penjualan batu bara ke luar negeri ketimbang pemenuhan DMO.
Sebagai perbandingan, harga batu bara untuk gar 4.200, dengan menggunakan index NEX US$ 180 per ton (17 Desember 2021), maka harga di pasar internasional sebesar US$ 94 per ton, sementara harga ke PLN atau IPP hanya US$ 40 per ton. Dengan demikian, terdapat disparitas harga sebesar US$ 54 per ton.
"Ketidakpatuhan beberapa perusahaan batu bara demi semata-mata mendapat keuntungan besar, dengan memilih pasar luar negeri ketimbang mensuplai kebutuhan domestik, yang akhirnya berujung pada pelarangan ekspor bagi seluruh produser batu bara, termasuk yang selama ini telah patuh memenuhi DMO," pungkasnya.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara periode 1 hingga 31 Januari 2022 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa langkah ini harus diambil dan bersifat sementara guna menjaga keamanan dan stabilitas kelistrikan dan perekonomian nasional.
Kurangnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik pada akhir Desember 2021 dan Januari 2022 ini mengancam pasokan listrik bagi 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali), maupun non Jamali.
Hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total daya sekitar 10.850 Mega Watt (MW) terancam padam bila pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tak kunjung dipasok oleh perusahaan batu bara.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Belum Punah, PLN Tambah 13.819 MW PLTU Batu Bara Hingga 2030
