Ancaman Gelap Gulita Buktinya Nyata RI 'Tersandera' Batu Bara

Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
06 January 2022 11:20
Pekerja membersihkan sisa-sisa batu bara yang berada di luar kapal tongkang pada saat bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). Pemerintah Indonesia berambisi untuk mengurangi besar-besaran konsumsi batu bara di dalam negeri, bahkan tak mustahil bila meninggalkannya sama sekali. Hal ini tak lain demi mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat, seperti yang dikampanyekan banyak negara di dunia. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) mencatat listrik 10 juta pelanggan terancam padam. Sebanyak 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berdaya 10.850 Megawatt (MW) hampir byarpet akibat pasokan batu bara yang kritis.

Atas hal itu, pemerintah langsung memutuskan untuk melarang kegiatan ekspor sementara seluruh perusahaan batu bara baik Izin Usaha Pertambangan (IUPK), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) maupun Pernjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Pelarangan itu demi kebutuhan pasokan batu bara untuk kebutuhan listrik PLN. Yang mana, PLN membutuhkan sebanyak 20 juta ton batu bara untuk membuat ketersediaan batu bara di pembangkit listrik dalam kondisi aman dengan minimal 20 hari operasi di bulan Januari 2022.

Sejatinya, para perusahaan pertambangan batu bara memiliki kewajiban menyetor batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebanyak 25% dari hasil produksi pertambangannya. Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 139.K/HK.02/MEM.B/2021.

Sayangnya kewajiban itu urung dilaksanakan oleh perusahaan batu bara. Dari catatan Kementerian ESDM, yang seharusnya pasokan batu bara penugasan dari pemerintah pada Januari 2022 sebesar 5,1 juta ton, hanya terpenuhi 35 ribu ton saja atau kurang dari 1%.

Dari permasalahan itu, menjadi bukti nyata bahwa RI masih tersandera batu bara. Kebutuhan akan batu bara masih menjadi yang paling kritikal di tengah upaya pemerintah menggenjot penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT).

Pengamat Kelistrikan yang juga Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyampaikan bahwa dengan adanya kendala pasokan batu bara, menunjukan bahwa Indonesia masih bergantung kepada batu bara.

"Ketergantungan Indonesia yang sangat besar pada batu bara dan kondisi ini menyandera kita melakukan transisi energi dengan cepat," terang dia kepada CNBC Indonesia, Rabu (5/1/2022).

Fabby mencatat, dengan porsi bauran batu bara atau PLTU yang mencapai 65% dari total kapasitas pembangkit, akan terjadi peningkatan permintaan batu bara hingga tahun 2030.

Jadi menurut, Fabby, kondisi seperti ini masih akan sering terjadi dengan dinamika permintaan batu bara di pasar global.

Oleh karena itu, untuk bisa melakukan transisi energi, maka pemerintah harus membenahi kebijakan harga energi dan memberikan disinsentif kepada energi fossil.

Dalam konteks batu bara, perlu ada koreksi terhadap kebijakan harga DMO. Dengan adanya harga DMO batu bara, harga batubara disubsidi dan ini menyebabkan pengembang pembangkit enggan berpindah ke energi terbarukan lebih cepat.

"Padahal pembangkit Energi Terbarukan harganya bisa bersaing dengan PLTU jika harga batu bara tidak disubsidi," terang dia.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Potret Tumpukan Batu Bara di Pelabuhan Saat Ekspor Disetop

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular