Garuda Lawan Gajah Bung! Melihat Asa Indonesia vs Thailand

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 January 2022 11:20
Singapore Soccer Suzuki Cup
Foto: AP/Suhaimi Abdullah

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini adalah Tahun Baru 2022. Meski libur, tetapi bukan berarti tidak ada pertandingan sepakbola. Bagaimana pun, ini akhir pekan, Bung! Akhir pekan tanpa sepakbola adalah Romi tanpa Yuli, Galih tanpa Ratna, Ateng tanpa Iskak.

Satu laga yang dinanti rakyat Indonesia adalah final Piala AFF 2020. Walau diselenggarakan 2021 (bahkan final digelar pada hari pertama 2022), tetapi nama 2020 tetap dipakai karena seyogianya turnamen ini dihelat pada 2020, tetapi tertunda karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Final Piala AFF kali ini mempertemukan Thailand dan Indonesia. Final serupa kali terakhir terjadi pada 2016.

Dalam partai final Piala AFF 2016, Indonesia menang 2-1 di pertandingan pertama. Namun di leg kedua Boaz Solossa dan kolega menyerah 0-2 sehingga Thailand berhak memboyong Piala AFF untuk kali kelima.

Kali ini ceritanya berbeda. Di pertandingan leg pertama, Indonesia sudah kalah telak. Dicukur gundul 0-4 oleh Chanathip 'Jay' Songkrasin dan sejawat.

Memang ada cerita dari laga-laga terdahulu di mana tim yang dibabat pada laga pertama mampu membalikkan keadaan di leg kedua. Di Eropa, contohnya lumayan banyak.

Misalnya di semifinal Liga Champions Eropa musim 2018/2019. Liverpool (Inggris) diajari bermain sepakbola oleh Barcelona (Spanyol) di semifinal leg pertama, Si Merah menyerah dengan skor tiga gol tak berbalas.

Namun di leg kedua, anak asuh Manajer Juergen Klopp mengamuk dan membantai Barcelona 4-0. Liverpool lolos ke final dan menjadi juara di All English Final melawan Tottenham Hotspur.

Sedikit ke belakang ada partai Barcelona vs Paris St Germain (Spanyol) di Liga Champions Eropa musim 2016/2017. Di leg pertama, Le Parisiens menang 4-0. Leg kedua seakan tanpa harapan.

Di luar dugaan, Barcelona mampu menang 6-1 di leg kedua. Neymar Jr menjadi bintang bagi Barcelona dan didapuk sebagai Man of the Match. Ironisnya, Neymar pindah ke Paris St Germain pada musim berikutnya dengan status pemain termahal dunia, rekor yang belum terpecahkan sampai detik ini.

Lebih ke belakang lagi, di Liga Champions Eropa musim 2003/2004 ada laga perempat final yang mempertemukan AC Milan (Italia) dan Deportivo La Coruna (Spanyol). Di pertandingan pertama, Paolo Maldini dan kolega menang telak 4-1.

Deportivo tidak mau menyerah. Super Depor 'kesurupan' dan membabat Milan empat gol tanpa balas di leg kedua. Juan Carlos Valeron dan rekan lolos ke semifinal, tetapi tunduk dari sang calon juara, FC Porto (Portugal).

So, seperti kata pelatih Shin Tae-yong, bola itu bundar. Segala kemungkinan masih bisa terjadi pada leg kedua final Piala AFF malam nanti. Terbukti sejumlah klub Eropa mampu mengukir remontada yang luar biasa pada leg kedua.

Akan tetapi, tugas membuat comeback itu memang memang maha berat. Bermain baik saja tidak cukup, Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan harus bermain sempurna untuk membawa Indonesia meraih Piala AFF untuk kali pertama.

Tim Garuda harus bermain seperti moto klub Everton (Inggris), Nil Satis Nisi Optimum. Nothing but the best is good enough...

Soal bal-balan, harus diakui Thailand jauh di atas Indonesia. Di peringkat FIFA terbaru edisi 23 Desember 2021, Thailand menempati rangking 115 dunia.

Indonesia? 164. Peringkat Indonesia berada di bawah Vanuatu (163), Fiji (161), atau Maladewa (157).

Tidak hanya soal sepakbola, di sejumlah aspek ekonomi pun Indonesia masih tertinggal dari Thailand. Di industri otomotif, Thailand adalah 'raja' Asia Tenggara. Thailand adalah negara dengan industri otomotif terbesar di Asia Tenggara dan nomor sembilan dunia.

Sejak 2006, produksi mobil Thailand sudah di atas 1 juta unit, sementara Indonesia baru bisa mencapai milestone itu pada 2012. Saat pandemi virus corona menyerang pada 2020, produksi mobil Thailand masih bertahan di atas 1 juta unit sementara Indonesia drop ke bawah 700.000 unit.

Selain industri manufaktur, Thailand punya satu aspek lagi yang patut dibanggakan yaitu pariwisata. Sebelum pandemi virus corona, Thailand lagi-lagi jadi 'raja' di sektor ini.

Pada 2019, jumlah wisawatan mancanegara (wisman) yang datang ke Indonesia adalah 16,15 juta orang. Dalam periode yang sama, wisman yang berkunjung ke Thailand mencapai 39,87 orang, lebih dari dua kali lipat dibandingkan Indonesia.

Selama 10 tahun terakhir, rata-rata wisman yang datang ke Thailand adalah 27,57 juta orang per tahun. Sementara Indonesia tidak ada separuhnya, yaitu 10,58 juta orang.

Thailand mampu mengemas berbagai destinasi wisata secara menarik. Bahkan pasar malam sederhana seperti Chatuchak saja punya pamor yang luar biasa karena promosi yang menarik dan mengglobal.

Tidak hanya itu, infrastruktur penunjang pariwisata pun digarap secara serius. Untuk semakin memanjakan para turis, Thailand membuka bandara Suvarnabhumi pada 2006. Pada 2019, Svarnabhumi menjadi bandara tersibuk ke-19 dunia dengan jumlah penumpang mencapai 65,42 juta orang. Bandara Soekarno-Hatta berada di peringkat 25 pada tahun yang sama dengan 54,49 juta penumpang.

Jadi tidak heran sektor pariwisata menjadi kontributor penting dalam perekonomian Thailand. Pada 2019, pendapatan dari sektor pariwisata menyumbang 11,32% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan di Indonesia hanya 1,64%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular