Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 ini bisa dikatakan tahun yang masih kurang menggembirakan bagi sektor hulu minyak dan gas bumi di Tanah Air. Meski di tengah lonjakan harga minyak mentah dunia dan juga seiring meningkatnya permintaan minyak karena mulai pulihnya perekonomian, namun di sisi lain industri hulu migas di Indonesia justru masih membawa kabar tak sedap.
Kabar tak sedap di industri hulu migas di Tanah Air ini antara lain lelang blok migas yang masih tak menarik bagi investor, hingga pengumuman pelepasan aset ConocoPhillips di Blok Corridor, Sumatera Selatan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 17 Juni 2021 lalu melelang empat blok migas yang ditawarkan melalui penawaran langsung (direct offer). Namun, pada saat pengumuman pemenang lelang pada 3 September 2012 lalu, hanya ada dua pemenang untuk dua blok migas yang ditawarkan. Artinya, dua blok migas yang ditawarkan lainnya masih tidak diminati oleh investor.
Adapun dua pemenang lelang blok migas tahap I 2021 ini yaitu:
1. PT Energi Mega Persada Tbk untuk Blok South CPP, Riau Barat.
Bonus tanda tangan US$ 500 ribu atau sekitar Rp 7,2 miliar (asumsi kurs Rp 14.500 per US$).
2. Husky Energy International Corporation untuk Blok Liman, Jawa Timur.
Bonus tanda tangan US$ 200 ribu atau sekitar Rp 2,9 miliar.
Sementara dua blok migas lainnya yang ditawarkan namun tidak ada pemenangnya atau tidak diminati investor antara lain:
1. Blok Sumbagsel, Onshore Sumatera Selatan.
2. Blok Rangkas, Onshore di Banten dan Jawa Barat.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, jumlah total investasi komitmen pasti dari dua wilayah kerja migas tersebut adalah sebesar US$ 20.300.000 (Rp 294 miliar) dan bonus tanda tangan sebesar US$ 700.000 (Rp 10 miliar).
Adapun dua blok migas yang tidak laku tersebut menurutnya akan berstatus menjadi blok atau wilayah kerja (WK) migas yang "available" dan bisa kembali dilelang di kemudian hari.
"Untuk 2 WK yang tidak ada pemenangnya yaitu Sumbagsel dan Rangkas akan berstatus menjadi Wilayah Kerja Available. Wilayah Kerja Available ini dapat dievaluasi untuk ditawarkan kembali pada kesempatan lelang berikutnya maupun terbuka untuk diusulkan sebagai wilayah studi bersama," tuturnya.
Masih belum lakunya lelang blok migas di Tanah Air ini memang sangat disayangkan, apalagi pemerintah sudah jor-joran memberikan insentif di sektor hulu migas. Mulai dari penurunan bagi hasil produksi (split) bagian pemerintah dan meningkatkan bagi hasil produksi untuk kontraktor atau produsen migas hingga fleksibilitas kontrak pun telah diberikan.
Direktur PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) Ronald Gunawan mengatakan, perbaikan regulasi dan insentif yang diberikan pemerintah selama ini berdampak positif bagi kegiatan hulu migas di Indonesia.
Akan tetapi, dia berpandangan insentif ini sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing investor. Hal ini dikarenakan insentif yang dibutuhkan setiap investor berbeda, tergantung dari kebutuhan dan kerumitan masing-masing aktivitasnya.
"Beberapa tahun terakhir sudah ada perbaikan regulasi, insentif diberikan. Tapi kalau bisa ini case by case, ada certainty (kepastian). Pada dasarnya term itu perbaikan insentif peraturan perundangan yang berlaku. Dan ini sudah real-nya diaplikasikan," tuturnya.
Tak hanya itu, sejumlah 'raksasa' migas asing pun menarik diri dari RI. Simak di halaman berikutnya..
Beberapa tahun belakangan ini sejumlah perusahaan migas asing menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Indonesia.
Mulai dari Shell yang menyatakan akan mundur dari proyek gas raksasa Lapangan Abadi, Blok Masela, Maluku, lalu Chevron Indonesia Company yang menyatakan akan mundur dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur, dan terbaru ada ConocoPhillips yang menjual aset di Blok Corridor, Sumatera Selatan, ke PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
Pada 8 Desember 2021 lalu ConocoPhillips, perusahaan migas berbasis di Houston, Amerika Serikat, melalui ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd (CIHL) melakukan penandatanganan kesepakatan dengan Medco untuk menjual seluruh asetnya di Indonesia kepada Medco.
CIHL memegang 100% saham di ConocoPhillips (Grissik) Ltd (CPGL) dan 35% saham di Transasia Pipeline Company Pvt Ltd. CPGL adalah operator dari blok gas Corridor (Corridor PSC), Sumatera Selatan, dengan kepemilikan hak partisipasi 54% di Blok Corridor ini.
Dengan dilepaskannya seluruh saham di Blok Corridor ini, maka artinya ConocoPhillips tak lagi menjadi operator atau pun mengelola blok migas di Indonesia, baik blok produksi maupun eksplorasi.
ConocoPhillips melalui pernyataan resmi perusahaannya angkat bicara atas penjualan aset miliknya di Indonesia. Pada dasarnya penjualan aset 100% ConocoPhillips melalui ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd kepada PT Medco Energi International Tbk (MEDC) untuk menambah saham di perusahaan migas Australia.
ConocoPhillips akan menggunakan hasil dari penjualan aset di Indonesia untuk kepentingan kepemilikan saham tambahan di Australia Pacific LNG (APLNG) sebesar 10% dari Origin Energy.
Seperti diketahui, nilai aset Blok Corridor yang dijual ke Medco ini mencapai US$ 1,355 miliar atau sekitar Rp 19,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$). Sementara, nilai kepemilikan saham tambahan APLNG sebesar 10% dari Origin Energy itu mencapai US$ 1,645 miliar (Rp 24 triliun).
Terkait hal ini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, ConocoPhillips telah mengirimkan surat kepada SKK Migas dan menjelaskan bahwa sudah ada penandatanganan perjanjian antara ConocoPhillips yang akan melepaskan kepemilikan sahamnya di CIHL kepada Medco.
Menurutnya, proses transaksi ini masih berlangsung dan masih menunggu sikap seluruh pemegang hak partisipasi di Blok Corridor. Selain ConocoPhillips, ada juga pemegang hak partisipasi lainnya di Blok Corridor ini, antara lain PT Pertamina Hulu Energi Corridor dan Talisman Corridor Ltd (Repsol).
"Tanggal 9 Desember 2021 kemarin, ChonocoPhillips mengirimkan surat ke SKK yang menyampaikan bahwa sudah ditandatangani Share Parties Agreement untuk penjualan 100% saham tadi, dari kepemilikan mereka ChonocoPhillips Indonesia Holding ke Medco," jelasnya dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (22/12/2021).
"Tentu saja, prosesnya masih akan berjalan, termasuk bagaimana sikap dari seluruh konsorsium, karena saat ini pemegang PI (participating interest/ hak partisipasi) untuk Corridor itu adalah ConocoPhillips, Talisman, dan PT Pertamina," lanjutnya.
Kondisi ini tentunya akan sulit bagi Indonesia, khususnya untuk mewujudkan target produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.
Berdasarkan data SKK Migas, realisasi produksi terangkut (lifting) minyak hingga 30 September 2021 mencapai 661,1 ribu barel per hari (bph) atau hanya 93,8% dari target tahun ini 705 ribu bph, dan realisasi salur gas hingga kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 5.481 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau hanya 97,2% dari target di APBN 2021 sebesar 5.638 MMSCFD.
Sementara lifting migas hingga akhir kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 1,64 juta barel setara minyak per hari (boepd), atau hanya 95,8% dari target 1,71 juta boepd.
Lantas, apa yang sebenarnya membuat 'raksasa' migas itu hengkang dari Indonesia? Apakah potensi migas RI tak lagi menarik bagi investor asing?
Menurut Praktisi Migas Tumbur Parlindungan, pada dasarnya potensi migas di Tanah Air masih sangat besar, namun sayangnya ini tidak didukung oleh iklim investasi yang baik bagi investor.
"Potensinya Indonesia itu masih besar sekali. Investment climate-nya yang tidak mendukung," ungkap Tumbur kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (16/12/2021).
Dia menyebut kasus nyata pada rencana hengkangnya ConocoPhillips dari Indonesia karena kepastian hukum dan kemudahan berbisnis di Australia jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.
Dia pun menyinggung, dengan diberikannya seluruh blok migas yang kontraknya berakhir ke PT Pertamina (Persero), ini menjadi isu bahwa pemerintah mencoba menasionalisasikan industri hulu migasnya.
Menurutnya, hal ini seolah-olah menandakan bahwa pemerintah Indonesia tidak lagi memerlukan investor asing. Akibatnya, ini merupakan sinyal negatif bagi para investor.
"Dengan diberikannya semua blok yang expire ke Pertamina menjadikan issue 'nasionalisasi upstream industry' ini juga menjadi negative signal untuk investor," tegasnya.
Kondisi ini pun menurutnya akan semakin menyulitkan pemerintah untuk mencapai target produksi 1 juta bph minyak dan 12 BSCFD gas pada 2030 mendatang.
"Kalau mau 1 juta, even in 2040, dari sekarang harus massive exploration and itu hanya bisa dilakukan dengan semakin banyak investor yang mau berinvestasi dan melakukan eksplorasi. Sekarang ini terbalik kondisinya," tuturnya menyayangkan.
Begitu pula dengan lelang blok migas baru yang kurang laku, menurutnya ini juga dipicu oleh iklim investasi yang tidak kondusif di Tanah Air.
"Ini karena investment climate ya and blok yang ditawarkan kurang menarik. Investment climate itu beda dengan perubahan fiskal yang dilakukan oleh ESDM. Jadi bukan hanya keekonomian yang diperbaiki, the whole system untuk berinvestasi," pungkasnya.