
Gak Cuma Sri Mulyani, Para Ilmuwan Takut Ancaman Selain Covid

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan adanya ancaman baru di masa depan, selain pandemi Covid-19.
Apabila tidak dipersiapkan dengan matang dan sejak dini, maka risiko ancaman ini menurutnya akan jauh lebih besar dan menyeramkan dibandingkan pandemi Covid-19.
Ancaman selain Covid-19 yang dimaksud Sri Mulyani ini yaitu perubahan iklim.
"Climate change adalah global disaster yang magnitude nya diperkirakan akan sama seperti pandemi Covid-19," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Kekhawatiran Sri Mulyani ini bukan tanpa alasan. Sejumlah ilmuwan dunia pun mengungkapkan kekhawatiran hal yang sama.
Penelitian terbaru dari Amerika Serikat (AS) menyebutkan jika tidak ada perubahan, maka 95% permukaan laut Bumi menjadi tak layak huni pada 2100. Penelitian tentang perubahan iklim ini telah dilakukan sejak abad ke-18. Mereka pun memprediksi bagaimana emisi karbon memengaruhi dunia pada 2021.
Sebagian besar kehidupan laut didukung oleh permukaan laut yang dicirikan oleh suhu air permukaan, keasaman, dan konsentrasi mineral arogonit yang dibutuhkan mahkluk laut guna membuat tulang atau cangkang.
Namun dengan meningkatnya tingkat CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, setidaknya dalam tiga juta tahun, ada kekhawatiran suhu permukaan laut mungkin menjadi kurang bersahabat dengan spesies yang hidup di sana, seperti dikutip dari Nature World News.
Laut yang lebih panas, lebih asam, dan memiliki lebih sedikit mineral yang dibutuhkan bagi kehidupan laut untuk berkembang menjadikan laut tidak layanan huni bagi mahkluk laut.
Menurut penulis utama dari penelitian ini, Katie Lotterhos, dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, perubahan komposisi lautan sebagai akibat dari polusi karbon kemungkinan akan memengaruhi semua spesies permukaan.
"Dalam beberapa dekade mendatang, komunitas spesies yang ditemukan di satu wilayah akan terus bergerak dan berubah dengan cepat," ujarnya.
Analisis terbaru McKinsey, potensi kerugian akibat krisis iklim bisa mencapai US$ 4,7 triliun. Sementara itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024.
Sektor keuangan saat ini telah mendeteksi peningkatan risiko terhadap banjir besar, topan, dan kemarau. Di tingkat global, investasi Environmental, Social and Corporate Governance (ESG) telah mengalami gelombang pertumbuhan di balik pandemi dan memiliki fokus baru pada keberlanjutan.
Di Asia Tenggara, model bisnis yang mengutamakan keberlanjutan, penilaian risiko iklim, dan investasi ESG masih terbilang baru, namun dampak dari perubahan iklim sudah terasa.
Lantas, apakah bisnis di kawasan Asia siap menghadapi tantangan ini?
John Sterman, Director MIT Sloan Sustainability Initiative, memandang bahwa Asia masih memiliki harapan. Sterman yang dalam beberapa dekade mempelajari reaksi dan upaya masyarakat untuk memitigasi perubahan iklim mengatakan bahwa masyarakat masih peduli dengan lingkungan.
"Masalah utamanya adalah orang-orang kewalahan dengan kerumitan dan penundaan yang lama, terutama ketika kita sudah terbiasa dengan hasil yang instan," kata Sterman, dikutip melalui keterangan resmi.
Menurutnya, saat orang-orang dihadapkan dengan konsekuensi yang tampak seperti bencana besar yang tidak memiliki jalan keluar, kebanyakan orang akan berpikir lebih sederhana.
"Kebanyakan orang cenderung meyakinkan diri mereka sendiri bahwa 'masalahnya tidak seburuk itu', 'pasar akan menyelesaikannya', atau 'pemerintah akan menanganinya'," jelasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ancaman Lebih Gawat dari Covid, Ditakuti Sri Mulyani-Ilmuwan!
