
Seramnya Omicron, Mengganjal Ekonomi Tahun Depan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai, munculnya mutasi virus corona atau Covid-19 varian Omicron di berbagai belahan negara menimbulkan ketidakpastian untuk ekonomi di tahun depan.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro BKPM Indra Darmawan mengungkapkan, bahwa adanya varian Omicron mampu mengubah cara pandang otoritas di seluruh negara belahan dunia.
Yang semula otoritas di seluruh dunia meyakini, bahwa pandemi Covid-19 menjadi endemi, namun persepsi itu semakin pudar karena adanya Omicron. "Keyakinan itu agak goyah karena adanya varian baru Omicron yang kita hadapi dan sudah ada di beberapa negara," jelas Indra dalam sebuah Webinar, Selasa (28/12/2021).
Menurut Indra, makin merebaknya penularan Omicron di berbagai belahan dunia akan memberikan dampak terhadap mobilitas ekonomi. Salah satunya, yakni akan menekan mobilitas dan menurunkan kegiatan ekonomi dunia dan akan menjadikan harga logistik menjadi tinggi,
Dengan begitu, disrupsi perdagangan pun tidak terhindarkan. Sehingga ada ketidakpastian yang akan mengubah pola-pola perdagangan, yang membuat para pelaku usaha harus mengantisipasi di tahun depan.
"Kenaikan dari harga logistik memaksa negara untuk mengubah pola perdagangannya, mungkin mengubah tidak terlalu jauh lagi untuk mencari pasar yang lebih dekat. Serta mencari bahan baku akan shopping around lagi, cari alternatif yang dekat dan lancar," jelas Indra.
Kalau hal tersebut terjadi akan berdampak langsung kepada pelaku industri pengiriman atau shipping industry. Bahkan saat ini, hal ini sudah terjadi.
"Bagi bidang shipping familiar, lonjakan tarif tinggi akibat langkanya kontainer, panjangnya antrian masuk ke pelabuhan dan mengakibatkan harga-harga logistik meningkat, seperti (ongkos logistik) dari China ke AS naiknya sangat tinggi," jelasnya.
Bahkan Indra menyebut bahwa kelangkaan kontainer menyebabkan terjadi kenaikan ongkos per satu box food pengiriman dari China ke AS. Meski secara nominal masih lebih rendah dari puncaknya, namun terjadi kenaikan hingga 10 kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.
Ditambah lagi, beberapa dunia kini telah dibayangi oleh kenaikan inflasi yang melejit, karena permintaan (demand) yang membludak, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan barang (supply).
Hal tersebut tentu dapat mengganggu rantai pasok nasional dan global. Alhasil dapat memicu tekanan inflasi yang menyebabkan kenaikan harga.
"Ke depan ada cakrawala inflasi, akibat disrupsi ketidakseimbangan supply dan demand. Namun ini belum terasa di Indonesia," tuturnya.
Tapi, di berbagai belahan negara lainnya, kata Indra tekanan inflasi sudah terjadi. Seperti di Amerika Serikat inflasinya sudah menyentuh 6,8% atau tertinggi selama dua dekade.
Kemudian di Inggris, saat ini inflasinya sudah mencapai 5,1%, bahkan Turki inflasinya mencapai 21% dan Argentina 52%.
"Kenaiakn harga di luar negeri ini akan mendorong impor lebih mahal. Ini harus kita waspadai," jelas Indra.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Top! 2 Negara ini Sukses Kendalikan Penyebaran Covid Omicron