
SKK Migas Akui 1 Juta Barel Mustahil Tanpa Raksasa Migas!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memiliki target ambisius terkait produksi minyak dan gas bumi di Tanah Air. Pemerintah menargetkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.
Namun sayangnya, sejumlah perusahaan migas asing telah menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini. Mulai dari Shell yang menyatakan akan mundur dari blok gas raksasa RI, Blok Masela di Maluku, lalu Chevron Indonesia Company yang mundur dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur, dan terbaru ConocoPhillips dari Blok Corridor di Sumatera Selatan.
Lantas, bagaimana nasib target produksi minyak 1 juta bph dan gas 12 BSCFD pada 2030 nanti kalau sejumlah raksasa migas hengkang dari RI?
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengakui bahwa target tersebut tidak mungkin tercapai bila tidak ada investor besar, khususnya di kegiatan eksplorasi migas.
"Sangat setuju bahwa kita gak mungkin mencapai itu kalau tidak ada investor besar, khususnya di kegiatan-kegiatan eksplorasi. Yang kita lihat, hal optimistisnya dari kegiatan pengembangan drilling/pengeboran," jelasnya dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (22/12/2021).
Dia mengakui bahwa untuk meningkatkan produksi yang ada saat ini memang dibutuhkan biaya lebih besar dari sebelumnya, karena kondisi lapangan sudah semakin tua dan harus diupayakan meningkatkan faktor pemulihan (recovery factor) sumur-sumur minyaknya.
Saat ini produksi minyak menurutnya berada di kisaran 660 ribu barel per hari (bph). Jika tahun depan bisa dinaikkan menjadi sekitar 690 ribu bph, maka menurutnya tidak akan menimbulkan banyak masalah.
Namun dengan adanya pandemi sejak tahun lalu, maka menurutnya produksi minyak juga sempat terpukul dan menurun.
Pada 2020 jumlah pengeboran sumur menurutnya anjlok menjadi hanya 240 sumur. Namun tahun ini ada peningkatan menjadi lebih dari 500 sumur. Pada 2022 ditargetkan naik lagi menjadi 900 sumur.
Untuk meningkatkan produksi migas ini, maka menurutnya masih memerlukan investasi besar dan ini membutuhkan investor atau 'raksasa migas'.
"Dan untuk capai 1 juta, maka syaratnya ada investasi yang ngebor sampai di atas 1.000 sumur per tahun," ujarnya.
Dia pun mengakui, untuk mencapai target 1 juta bph pada 2030 ini, investasi dari Pertamina saja tidak cukup karena Pertamina memiliki keterbatasan finansial dan teknologi.
Meski kini 60% blok migas yang berproduksi telah dikuasi Pertamina, namun Pertamina lebih diharapkan untuk berinvestasi di lapangan yang ada saat ini. Sementara untuk lapangan migas baru dan eksplorasi, maka tentunya diharapkan ada tambahan investasi dari perusahaan migas besar.
"Jadi memang kita harapkan, sekarang 60% WK (wilayah kerja) sudah ada di Pertamina dan kita harapkan aktivitas Pertamina untuk investasi, tapi kita tahu ada keterbatasan. So, saya kira sependapat bahwa we need investor to invest in Indonesia," pungkasnya.
Dia mengatakan, dengan kondisi terkini, maka pihaknya terus mengevaluasi sumber 1 juta bph tersebut nantinya. Salah satu yang menjadi potensi dari sumber produksi minyak 1 juta bph ini menurutnya bisa berasal dari migas non konvensional seperti shale gas atau gas metana batu bara (Coal Bed Methane/ CBM).
"Kalau kemarin-kemarin pesimis dengan resources non konvensional, tapi dengan minat non konvensional tinggi di Indonesia, maka kita jadi optimis dan kita sedang review target 1 juta dengan masukan potensi yang non konvensional," tuturnya.
"Yang 1 juta ini kita tetap posisikan di 2030, hanya saja source-nya dari mana ini bisa saja terjadi perubahan-perubahan dalam perjalanannya. Kita sudah masukkan strategi yang baru dengan melibatkan migas non konvonesional," jelasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Beberapa Hengkang, Sanggupkah RI Gaet Raksasa Migas Lagi?
