Duh Dilema, Target 1 Juta Barel Tapi Investor Raksasa Cabut

Annisatul Umah, CNBC Indonesia
10 December 2021 13:55
ConocoPhillips, Conoco Phillips
Foto: ConocoPhillips, Conoco Phillips

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor minyak dan gas bumi (migas) kelas kakap dunia, dalam beberapa waktu terkahir ini berencananya angkat kaki dari Indonesia. Yang teranyar adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd (CHIL).

ConocoPhillips cabut dari wilayah kontrak migas atau Production Sharing Contract (PSC) Corridor, Sumatera Selatan. Kepemilikan 100% sahamnya dijual kepada perusahaan swasta nasional PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).

Dengan dilepaskannya seluruh saham di Blok Corridor ini, maka artinya ConocoPhillips tak lagi menjadi operator atau pun mengelola blok migas di Indonesia, baik blok produksi maupun eksplorasi.

Melansir dari Reuters, Kamis (9/12/2021), secara bersamaan dengan akuisisi saham itu, ConocoPhillips justru lebih memilih Australia ketimbang Indonesia.

ConocoPhillips menjual asetnya di Indonesia senilai US$ 1,355 miliar untuk menambah kepemilikan saham di Australia Pacific LNG (APLNG) sebesar 10% dari Origin Energy. Dengan begitu, total kepemilikan aset ConocoPhillips di Origin energy mencapai US$ 1,645 miliar.

"Kawasan Asia Pasifik memainkan peran penting dalam keunggulan diversifikasi kami sebagai E&P independen dan dua transaksi ini meningkatkan keunggulan itu dengan menurunkan tingkat penurunan agregat kami dan mendiversifikasi bauran produk kami," kata CEO ConocoPhillips Ryan Lance dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu, Direktur Utama MEDC, Hilmi Panigoro menyampaikan, bahwa transaksi akuisisi saham ConocoPhillip itu diharapkan selesai pada kuartal I-2022.

Berdasarkan data SKK Migas, realisasi produksi gas dari Blok Corridor hingga kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 995 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan realisasi salur gas (lifting) mencapai 831 MMSCFD, lebih tinggi dari target yang ditetapkan dalam APBN 2021 sebesar 780 MMSCFD.

Pemerintah RI memiliki target ambisius terkait produksi minyak dan gas bumi (migas) pada 2030. Untuk produksi minyak ditargetkan mencapai 1 juta barel per hari (bph), sementara untuk gas ditargetkan hingga 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD).

Target ambisius ini terbentur dengan cabutnya sejumlah perusahaan migas raksasa dari Indonesia. Kondisi objektif ini menjadi tantangan besar dalam mengejar target produksi.

Pri Agung Rakhmanto, Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute, mengatakan bahwa iklim investasi migas RI yang kalah kompetitif tentunya akan membuat target yang dicanangkan itu sulit tercapai.

Alasannya, secara kalkulasi target 1 juta barel per hari minyak dan 12 BSCFD gas itu memerlukan tambahan produksi dari lapangan-lapangan migas skala besar.

"Untuk bisa mencapai 1 juta bph, secara kalkulasi memerlukan tambahan produksi dari lapangan-lapangan migas skala besar yang di dalam kenyataan, umumnya atau mayoritas dihasilkan dari investasi-investasi skala besar yang dilakukan oleh para major International Oil Companies (IOCs)," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (09/12/2021).

Lebih lanjut dia mengatakan 1 juta bph ini belum layak untuk disebut sebagai target karena belum ada kejelasan dari detail program kerjanya. Misalnya, dari lapangan mana saja target produksi itu dihasilkan.

"Termasuk di dalamnya akan dari lapangan mana produksi itu dihasilkan, berapa produksinya, kapan waktunya, dan oleh siapa yang akan melakukannya, sampai saat ini belum jelas," ucap Pri Agung.

Hal senada disampaikan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi. Dia mengatakan, target ini mustahil dicapai tanpa adanya temuan cadangan yang besar.

"Target 1 juta bph mustahil dicapai, kecuali ditemukan sumur baru dengan cadangan terbukti yang besar," paparnya.

Pandangan yang sama sebelumnya juga disampaikan oleh Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Kardaya Warnika.

Dia mengatakan, dirinya telah berdiskusi tentang target 1 juta bph ini dengan para KKKS, para profesional, dan sejumlah pihak tersebut mengatakan jika target produksi 1 juta barel ini lebih baik disebut mimpi.

"Karena dasarnya itu tidak jelas. Kalau mimpi kan nggak harus ada alasan. Mau terbang, terbang aja karena mimpi. Jadi, 1 juta barel per hari itu bisa dikatakan seperti mimpi," kata Kardaya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi VII DPR RI, Rabu (03/02/2021).

Cabutnya ConocoPhillips bukan menjadi yang pertama. Sebelumnya Raksasa migas asal Belanda, Royal Dutch Shell Plc (Shell), dikabarkan bakal cabut dari pengelolaan Lapangan Abadi, Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku.

Shell melalui Shell Upstream Overseas memiliki saham partisipasi Lapangan Abadi, Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku, sebesar 35%.

Sedangkan sisanya dimiliki oleh Inpex via Inpex Masela sebanyak 65%. Dari blok itu ditargetkan produksi LNG 9,5 juta ton. Nilai investasi pengembangan Blok Masela akan mencapai sekitar US$ 20 miliar.

SKK Migas memproyeksikan Blok Masela untuk onstream pada tahun 2027 mendatang. Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengharapkan satu tahun lebih lekas.

Selain Shell, Chevron Indonesia Company juga berencana hengkang dari proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) alias ultra laut dalam. Sebelumnya, pihak Chevron menyampaikan bahwa proyek IDD tahap 2 dengan nilai investasi menembus US$ 5 miliar itu tidak dapat bersaing untuk mendapatkan modal dalam portfolio global Chevron.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular