Wah Rencana Ubah Rp 1.000 jadi Rp 1 Ada Lagi, Segera Dimulai?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
06 December 2021 08:52
INFOGRAFIS (Komik), Desain Baru Rupiah, Redenominasi Rupiah
Foto: Infografis (komik)/Redenominasi Rupiah/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah, sejak tahun 2020 telah diusulkan oleh pemerintah untuk masuk ke dalam rencana strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Bagaimana perkembangannya?

Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat tatkala Asisten Gubernur BI Aida S Budiman yang kini maju secara aklamasi sebagai Deputi Gubernur BI. Dia setuju jika redenominasi rupiah untuk dilakukan.

"Redenominasi setuju, karena itu positif. Kita menjadi lebih mengurangkan nol-nya dan jadi lebih efisien, dan international standard," ujarnya saat melakukan uji kelayakan di hadapan Komisi XI DPR pekan lalu.

Untuk diketahui, RUU Redenominasi Rupiah telah dimasukkan dalam jangka menengah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.

Kala itu, Sri Mulyani menjelaskan, setidaknya ada dua alasan mengapa penyederhanaan nilai mata uang harus dilakukan.

Pertama, untuk menimbulkan efisiensi berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya resiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah.

Kedua, untuk menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya atau berkurangnya jumlah digit rupiah.

Kendati demikian, kala itu Sri Mulyani menegaskan, pemerintah bersama otoritas terkait akan fokus terlebih dahulu dalam menangani dan mencegah penularan virus corona atau Covid-19.

"Jadi sekarang kita Covid-19 dulu lah. Itu kan [redenominasi] jangka menengah," ujar Sri Mulyani September tahun lalu, dikutip Selasa (30/11/2021).

Sebagai gambaran, redenominasi adalah penyederhanaan dan penyetaraan nilai Rupiah. Dalam kajian Bank Indonesia dijelaskan, redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.

Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju kearah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, di mana yang dipotong hanya nilai uangnya.

Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang). Selanjutnya, hal itu akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

BI memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini sedang dikaji sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara yang berhasil melakukannya.

Redenominasi tersebut biasanya dilakukan di saat ekspektasi inflasi berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil, stabilitas perekonomian terjaga dan ada jaminan terhadap stabilitas harga serta adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat.

Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan gagasan mengenai redenominasi rupiah selalu menjadi bahasan para pemangku kebijakan keuangan, baik itu pemerintah pusat dan otoritas terkait. Namun, tujuan dari redenominasi itu sendiri, kata Erwin tetap sama, yaitu untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih mudah dan nyaman.

"Jadi, ketimbang bawa-bawa nominal yang nol-nya banyak, nolnya dibuang. Tidak ada issue selain kepraktisan yang ingin diambil disana," jelas Erwin saat dihubungi via video conference.

Redenominasi rupiah itu, kata Erwin belum akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Karena saat ini perekonomian di tanah air masih belum pulih karena dampak dari pandemi Covid-19. Karena redenominasi harus dilakukan disaat kondisi ekonomi sedang baik dan stabil.

Terpenting, kata Erwin redenomnasi dan sanering merupakan hal yang berbeda. Dan kebijakan sanering yang pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1959 disaat daya beli masyarakat Indonesia melambung terlalu tinggi, akan menjadi pelajaran serius bagi para pemangku kebijakan.

"Kita punya pengalaman traumatik saat bikin sanering. Nah, sehingga apabila kebijakan ini dilakukan pada saat ekonomi itu belum stabil, itu dikhawatirkan membuat isu yang tidak-tidak," ujarnya.

Erwin melanjutkan, apabila kebijakan redenominasi itu dikaitkan dengan sanering akan membuat persepsi masyarakat mengenai nilai rupiah dan tujuan untuk menyederhanakan pecahan nilai rupiah itu pudar.

"Maksud kepraktisan itu bisa berbalik, orang malah panik, tidak mau megang rupiah dan sebagainya. Sehingga, poin saya ide tentang redenominasi itu tidak pernah mati sebetulnya. Tapi kita sedang betul-betul mencari timing yang tepat," tutur Erwin.

"Sambil menunggu timing yang tepat, juga dibutuhkan sosialisasi yang masif untuk mengatakan kepada masyarakat, sebetulnya tidak ada berubah (nilai mata uangnya), selain nol-nya yang hilang (berkurang)," ujar Erwin lagi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular