
5 Negara Ini Gagal Redenominasi, RI Bisa Belajar!

Jakarta, CNBC Indonesia - Redenominasi rupiah kembali menarik perhatian publik, setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah terkatung-katung selama dua tahun terakhir.
RUU Redenominasi Rupiah sebenarnya telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Namun, hingga saat ini, tidak ada progresnya.
Wacana kembali muncul setelah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) meluncurkan rupiah tahun emisi 2022. Ada tujuh jenis, yaitu pecahan uang Rupiah kertas Rp100.000, Rp50.000, Rp20.000, Rp.10.000, Rp5.000, Rp2000, dan Rp1000.
Rupiah emisi 2022 ini, jika diterawang, tidak terlihat tiga angka nol yang menggambarkan nilainya. Misalnya, rupiah pecahan Rp 1.000 ditulis 1.
Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah BI dan pemerintah sudah siap melakukan redenominasi. Patut digarisbawahi, kebijakan redenominasi sendiri bukanlah kebijakan mudah. Beberapa negara di dunia pernah mencoba dan beberapa kali gagal akibat faktor ketidakstabilan ekonomi dan ketidaksiapan di lapangan.
Berikut ini kisah-kisah kegagalan redenominasi di beberapa negara.
1. Brasil
Negeri Samba ini telah melakukan redenominasi sebanyak enam kali. Pertama kali, Brazil melakukan pemangkasan nol dalam mata uangnya pada 1986. Namun, Brasil harus gagal. Tidak menyerah, Brasil pun mengulang kembali pada 1994.
Dikutip dari Detik, Brasil melakukan penyederhanaan mata uangnya dari cruzeiro menjadi cruzado. Namun, kurs mata uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap dolar AS hingga mencapai ribuan cruzado untuk setiap dolar AS. Kegagalan ini dikarenakan pemerintah Brasil tidak mampu mengelola inflasi yang pada waktu itu masih mencapai 500% per tahun.
Ditengah hiperinflasi tahun ini, Presiden Nicolas Maduro kembali merencanakan pemangkasan lima angka nol dalam mata uang Brasil. Pendahulu Maduro, Chavez, menghapus tiga angka nol dari Bolívar pada 2008, tetapi itu gagal mencegah hiperinflasi.
2. Rusia
Redenominasi Rusia gagal karena masyarakat menganggap kebijakan ini sebagai instrumen tak langsung pemerintah merampok kekayaan rakyat.
Satu minggu setelah Bank Sentral Rusia meluncurkan redenominasi rubel, hanya sedikit masyarakat Rusia yang benar-benar melihat uang kertas baru. Sementara itu, politisi dan media Rusia telah menyatakan redenominasi sukses.
Di bawah reformasi ini, 1.000 rubel lama sekarang bernilai satu rubel baru. Sayangnya, uang kertas baru akan diperkenalkan hanya secara bertahap selama tahun 1998.
Menurut Rferl.com, Uang kertas lama akan beroperasi berdampingan dengan uang kertas baru hingga 1 Januari 1999. Ketika uang rubel lama tidak lagi digunakan, uang ini tetap diterima sebagai wesel kecuali pada bank yang berwenang.
3. Korea Utara
Pada 30 November 2009, pemerintah Korea Utara meredenominasi ulang mata uang negara itu, won, dan memberlakukan pembatasan jumlah uang kertas lama yang dapat ditukar orang dengan uang kertas baru. Redenominasi Pyongyang berarti 100 won sekarang bernilai 1 won.
Namun, Korea gagal mengeksekusi redenominasi tersebut. Kegagalan ini dipicu oleh stok mata uang baru yang terbatas. Pasalnya, ketika warga hendak menggantikan uang lama won ke uang baru, stok uang baru tidak tersedia.
4. Zimbabwe
Zimbabwe melakukan tiga kali redenominasi. Karena hiperinflasi yang parah, pada tahun 2009, satu dolar Zimbabwe ke-4 sama dengan 10 septillions (1×1025) dolar pertama.
Dilansir oleh FXSSI, dolar Zimbabwe diperkenalkan ketika negara itu memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1980. Pada saat itu, 1 ZWD bernilai US$1,47 di pasar resmi. Namun seiring waktu, itu turun dengan cepat.
Pada tahun 2006, hiperinflasi yang tidak berkelanjutan mencapai 1.730%. Pada awalnya, pemerintah berencana untuk memperkenalkan mata uang yang sama sekali baru, bukan yang terdepresiasi. Namun, tanpa mencapai stabilitas makroekonomi, upaya pemerintah tersebut tidak masuk akal. Jadi, dolar pertama diganti dengan dolar kedua dengan kurs 1.000:1.
Pada awalnya, kurs resmi dolar Zimbabwe kedua adalah 250 ZWN hingga US$1. Tetapi ketika inflasi melebihi 1.000%, mencapai 30.000 ZWN hingga 1 USD pada 2007.
Pada 2008, mata uang itu didenominasi kembali lagi, dengan nilai 10 miliar ZWN (dolar ke-2) ke 1 ZWR baru (dolar ke-3). Pada saat itu, nilai ZWN turun menjadi sekitar 688 miliar per US$1.
Kemudian, pada November 2008, hiperinflasi mencapai tingkat bulanan sebesar 79,6 miliar %. Jadi, pada tahun 2009, redenominasi ketiga memotong 12 nol dari nilai nominal ZWR. Nilai tukarnya adalah 1.000.000.000.000 ZWR untuk 1 dolar keempat baru (ZWL).
Terakhir, pada April 2009, pemerintah Zimbabwe baru memutuskan untuk mendemonstrasikan dolar Zimbabwe dan melegalkan beberapa mata uang asing, seperti rand Afrika Selatan, dolar AS, Euro, yuan China, dan lain-lain.
5. Peru
Sejak 1863, sol adalah mata uang nasional di Peru. Tetapi inflasi kronis akibat pemburukan ekonomi memaksa pemerintah untuk menggantinya dengan inti pada tingkat 1.000:1 pada tahun 1985. Pada saat itu, US$1 sama dengan lebih dari 3.210.000.000 sol.
Redenominasi ini mengubah inflasi menjadi hiperinflasi, yang meningkat secara efektif hingga awal 1990-an. Sebelum revaluasi mata uang kedua pada tahun 1991, uang kertas "inti millón" biasanya digunakan untuk mempermudah perhitungan.
Peralihan ke sol nuevo baru dilakukan pada tahun 1991 untuk menstabilkan ekonomi Peru. Mata uang baru diadopsi pada tingkat 1 sol baru ke 1.000.000 inti (1.000.000.000 sol lama). Kemudian, pada tahun 2015, pemerintah menolak label "nuevo" dan mengganti nama mata uang menjadi "sol."
Sejak nuevo sol diperkenalkan, tingkat inflasinya tetap di level 1,5%, yang dianggap terendah di Amerika Selatan dan Latin.
(haa/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tiga Nol di Rupiah Versi Baru Hilang, Tanda Mau Redenominasi?