Jokowi Belum Teken Perpres EBT Gegara Ogah Bebani APBN?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tarif pembelian tenaga listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) oleh PT PLN (Persero) hingga saat ini belum juga kunjung ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Padahal, aturan ini sangat dinantikan oleh para pengusaha EBT. Finalisasi dari Perpres ini bahkan disebut sudah dilakukan sejak 2019 lalu.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada Rabu (21/10/2020) lalu mengatakan pemerintah akan ngebut dalam mengejar target bauran EBT.
Demi melegitimasi hal ini, pemerintah akan mengeluarkan Perpres EBT yang ditargetkan akan final pada tahun ini.
Senada dengan Arifin, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mengatakan pemerintah akan ngebut dalam mengerjakan Perpres EBT ini.
"Perpres ini akan keluar. Saat ini kami sedang finalisasi. Semangatnya memang untuk mendorong pemanfaatan EBT dan meningkatkan investasi di sektor EBT di dalam negeri. Harapannya lapangan kerja juga meningkat," ujar Rida.
Perlu diketahui, salah satu substansi dari Perpres EBT ini adalah pemberian biaya penggantian bagi PT PLN (Persero) apabila pembelian listrik EBT menyebabkan peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN.
Artinya, pemerintah bakal menutupi selisih dari harga beli listrik EBT jika lebih mahal dari BPP listrik PLN.
Hal ini disampaikan Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya.
"Jadi kalau harga jual US$ 10 sen, BPP di setempat US$ 8 sen, maka US$ 2 sen per kWh akan diberikan negara ke PLN," ungkapnya dalam webinar 'Menuju COP26 Glasgow dikutip Selasa (02/11/2021).
Selain pemerintah yang siap nombok, ada empat substansi lain dari Rancangan Perpres energi terbarukan ini, yakni kewajiban PT PLN (Persero) untuk membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan.
"Kami sedang menunggu RPerpres, di dalam RPerpres ini ada proses transparansi yang lebih baik di mana kita wajibkan PLN membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan," lanjutnya.
Listrik yang wajib dibeli oleh PLN mencakup seluruh jenis pembangkit listrik energi terbarukan, di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/ Angin (PLTB). Dengan adanya kata "wajib", maka artinya meskipun kondisi kelistrikan RI berlebih, PLN tetap harus membeli listrik dari produsen listrik EBT tersebut.
Selanjutnya adalah mekanisme harga yakni skema feed in tariff, harga patokan tertinggi, dan harga kesepakatan. Kemudian, insentif fiskal dan non fiskal untuk pengembangan listrik energi terbarukan.
Sementara itu, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris sempat menyebut bahwa Rancangan Perpres ini sudah berada di Setneg.
"Sekarang proses di Setneg. Perpres ini tunggu paraf kementerian terkait yang punya kewenangan di dalamnya, Kemenkeu, Kemenko Maritim dan Investasi, Kementerian Perindustrian dan lainnya," ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (03/05/2021).
Meski sudah finalisasi sejak tahun lalu, dan sudah di meja Setneg sejak awal tahun 2021, namun nyatanya hingga kini Perpres tersebut belum juga terbit.
Melalui Perpres EBT digadang-gadang pengembangan EBT akan lebih masif. Akan tetapi, di sisi lain Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pengembangan EBT akan membutuhkan ongkos yang mahal.
Pasalnya, listrik yang diproduksi dari energi fosil masih lebih murah daripada EBT. Lebih mahalnya harga listrik berbasis EBT, maka artinya akan ada tambahan biaya yang harus dikeluarkan.
Presiden pun menegaskan agar beban tambahan biaya ini jangan sampai dibebankan kepada negara maupun rakyat.
Jokowi mengakui, negara tidak akan mampu menombok ratusan triliun untuk transisi energi ke energi terbarukan ini dan dia pun tidak menginginkan ini dibebankan ke rakyat dengan menaikkan tarif listrik.
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia sebelumnya menggencarkan komitmen untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat.
Bahkan, salah satu caranya yaitu dengan menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebesar 5,52 Giga Watt (GW) hingga 2030 dan secara bertahap dikurangi hingga akhirnya kurang dari 1 GW pada 2057 mendatang.
Adapun penghentian PLTU ini disebutkan akan digantikan dengan pembangkit listrik berbasis EBT.
"EBT potensinya sangat besar sekali, tapi harus ingat para pemimpin dunia sampaikan sudah lama dan kita sudah tanda tangan kontrak pakai namanya batu bara, skenario seperti apa misalnya pendanaan datang, kalau EBT ini datang harganya lebih mahal dari batu bara, siapa yang bayar gap biaya ini? Ini yang belum ketemu. Dibebankan ke negara kita gak mungkin, berharap ratusan triliun, atau dibebankan ke masyarakat, tarif naik juga gak mungkin, ramai nanti gegeran kenaikan sangat tinggi sekali naik 10-15% demo tiga bulan," papar Jokowi di hadapan Menteri ESDM Arifin Tasrif dan juga sejumlah pemimpin perusahaan bergerak di sektor EBT saat membuka 'The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021' di Istana Presiden, Senin (22/11/2021).
"Sudah bicara dengan World Bank, dengan investor dari Inggris juga kita waktu Glasgow pertanyaannya pasti ke sana siapa yang menanggung (transisi energi)," imbuhnya.
[Gambas:Video CNBC]
Pertamina Targetkan 17% Bisnis dari Energi Hijau di 2030
(wia)