
Wapres Blak-blakan Soal Bitcoin Cs Haram hingga Wisata Halal

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Presiden RI K.H. Ma'ruf Amin bicara mengenai beberapa isu ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Dia juga membeberkan pandangannya mengenai fatwa haramnya yang kripto hingga penerapan wisata halal.
Hal ini diungkapkan saat melakukan kunjungan ke Trans Corp dalam acara diskusi Transmedia Institute di Auditorium Menara Bank Mega, Kamis (2/12/2021).
Mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan cryptocurrency sebagai mata uang, menurut Kiai Ma'ruf harus dilihat lagi unsur yang terkandung dalam uang digital itu. Mantan Ketua MUI itu menjelaskan dalam Fatwa MUI penggunaan kripto sebagai mata uang itu hukumnya haram.
Sebab mengandung spekulasi, bahaya, dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang juga Peraturan Bank Indonesia 17 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Mata Uang Rupiah.
Selain itu kripto sebagai komoditas atau aset digital juga tidak sah untuk diperjualbelikan, karena mengandung unsur judi atau tidak masuk dalam syarat komoditi.
"Secara syariah itu tidak berwujud fisik dan memiliki nilai dan tidak diketahui jumlahnya. Serta tidak diketahui secara pasti hak miliknya," jelasnya.
Namun untuk mata uang digital yang masuk syarat sebagai komoditi, atau nilainya jelas dan diketahui jumlahnya, memiliki underlying dan manfaat yang jelas hukumnya itu sah untuk di jual beli.
Menurut Kiai Ma'ruf, fatwa MUI itu adalah landasan syariah yang bisa ditindaklanjuti oleh otoritas lain. Selain itu menurut dia perdagangan kripto merupakan fenomena baru dalam ekonomi digital, bahkan beberapa negara juga melarang perdagangan mata uang ini.
Keliru soal Wisata Halal
Tidak hanya soal mata uang kripto, namun Kiai Ma'ruf juga bicara mengenai isu wisata halal. Menurut dia banyak masyarakat keliru di terkait konsep wisata halal. Sehingga banyak penolakan terhadap penerapannya di beberapa kawasan pariwisata.
"Kita ada persepsi keliru soal ini. Ada paham bahwa tempat wisata itu nanti akan disyariatkan, padahal yang kita maksud itu layanan syariah. Sifatnya seperti pelayanan di restoran, hotel, tempat ibadah, juga spa halal," katanya.
Dia tidak menampik ada penolakan dari masyarakat kawasan pariwisata yang mayoritas non muslim seperti di kawasan Danau Toba dan Bali.
Jadi tempat wisata itu memberikan akses pada penganut agama Islam untuk mendapat layanan seperti tempat shalat dan makanan halal. Apalagi, potensi wisatawan muslim dalam negeri tergolong besar jumlahnya.
"Jadi narasinya bukan jadi syariah kemudian jadi pakai kerudung semua, pakai penutup muka, tapi hanya layanan restoran, tempat belanja halal itu ada," lanjut Ketua Umum Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) itu.
Sehingga dia menugaskan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno untuk melakukan sosialisasi ke pemerintah daerah supaya persepsi itu tidak menjadi kendala.
Saat ini, lanjut Ma'ruf sudah banyak negara yang mayoritas memeluk agama bukan Islam, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Australia sedang menyiapkan hal serupa. Di mana masyarakat muslim mendapatkan fasilitas pelayanan wisata halal.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 3 Presiden RI Insinyur, Wapres: Kita Butuh Lebih Banyak Lagi