
Perusahaan Harus Tanggapi Cepat Kebijakan Net Zero Carbon

Jakarta, CNBC Indonesia - Emisi karbon yang makin tinggi semakin membuat keberlangsungan iklim tidak terkontrol. Sebagai langkah konkrit, dalam COP26 yang telah dilaksanakan beberapa waktu lalu, berbagai negara sepakat untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik energi batu bara secara bertahap.
Langkah ini juga menjadi upaya untuk menjaga suhu bumi, sehingga tidak naik di atas 1,5 derajat Celcius dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau penurunan emisi. Perdagangan karbon dinilai mampu menjadi bentuk konkrit dari implementasi COP26 tersebut melalui mekanisme perdagangan karbon negara partisipan dapat mengontrol emisi karbon yang dihasilkan.
Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) selaku badan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia membeberkan kesiapan infrastruktur ICDX beserta pelaksanaannya terkait kredit karbon akan menjadi komoditas yang sangat strategis dan berkelanjutan.
CEO ICDX, Lamon Rutten, mengatakan pihaknya ingin bertindak cepat tentang isu yang akan hadir dalam jangka panjang. Apalagi saat ini di banyak perusahaan komoditi di Indonesia ekspor mensuplai barang, misalnya pakaian untuk brand besar atau asing.
Sayangnya, mayoritas perusahaan asing mengatakan mereka belum menggunakan supplier yang sesuai dengan kebijakan net zero carbon. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan di Indonesia yang tidak punya kebijakan net karbon tidak akan lagi bisa menjual ke pembeli.
"Jutaan orang Indonesia bekerja di bidang tekstil, dan ini dapat menjadi risiko jika perusahaan Indonesia tidak mengambil kebijakan ini," ujar Lamon dalam acara Presenting The Future of Carbon Market Indonesia, ICF 2021, Rabu (1/12/2021).
Ia menambahkan, dalam 3-4 tahun ke depan ekspor Indonesia akan memiliki intensi karbon yang tinggi, serta akan ada pajak semester, artinya kemungkinan harga komoditas Indonesia akan lebih murah ketimbang harga internasional. Jika perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak bertindak sekarang, maka mereka tidak akan siap mereka untuk membayar pajak impor yang sangat tinggi.
Selain itu, karbon Indonesia juga sudah memiliki pembeli yang lebih maju, seperti pembeli dari bursa-bursa internasional. Lamon juga menuturkan semua karbon memiliki co-benefit. Hal ini akan menguntungkan produsen dan pasar di negara pembeli agar dapat mengeksplorasi nilai keuntungan yang dihasilkan.
"Indonesia yang sangat strategis untuk melakukan itu. Kita harus siap untuk pasar voluntary ini dari kita butuh mekanisme untuk pasar yang aman dan akan butuh dukungan pemerintah, kami berharap infrastruktur pasar dapat dimulai segera," jelas Lamon.
Lebih lanjut, agensi yang membeli kredit karbon Indonesia dapat memutuskan co-benefit apa yang ada, sehingga selain membangun kesadaran tentang isu iklim, perusahaan juga dapat membeli kredit karbon yang punya keuntungan.
Di kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Kementerian Perdagangan, Barry Beagen, menuturkan untuk melihat manfaat atau keuntungan ekonomi dari pasar karbon, perlu dilihat terlebih dahulu bentuk pasanya, yakni domestik atau global. Selain itu, harus dipastikan juga baranganya harus ada terlebih dahulu.
"Jadi kita itu memerlukan gambar proyek untuk penurunan emisi dan juga penyerapan karbon dan lainnya. Jadi ekosistem secara keseluruhan harus dibangun dulu," tutur Barry.
Selain itu, untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat di 2030, dibutuhkan komitmen para negara untuk pengurangan emisi sebesar 25 - 26 gigaton CO2. Ia menambahkan, dari sisi pengembangan perekonomian, penyerapan tersebut memerlukan lebih dari 400 proyek Katingan Mentaya.
"Sebenarnya ada beberapa aspek dari sisi perdagangan itu, satu dari benefit yang bisa dihasilkan dengan nilai tambahnya dari pengembangan proyek tersebut, dan juga secara makro dan jangka panjang. Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan pasar karbon atau perdagangan karbon itu untuk memacu investasi di transisi energi atau pencapaian target kecil kita secara garis besar," tambahnya.
Sementara itu, Co-Founder & Executive Director Indonesia Research Institute for Decarbonization, Kuki Soejachmoen, mengungkapkan Indonesia memiliki banyak peluang di berbagai sektor terkait perdagangan karbon. Sebelumnya, mekanisme perdagangan karbon di bawah Protokol Kyoto membuat Indonesia sebagai negara berkembang hanya berstatus sebagai penjual.
"Sementara kalau di bawah Paris Agreement gitu Indonesia dan negara manapun itu punya peluang menjadi penjual dan juga menjadi pembeli. Di sana, setiap negara itu kan punya komitmen untuk menurunkan emisi," ujar Kuki.
Lebih lanjut, ia mengatakan Indonesia dapat menurunkan emisi dengan usaha sendiri sumber dayanya 29% dan dengan kerjasama internasional 41%. Menurutnya, sudah waktunya Indonesia melihat tidak hanya sebagai penjual tetapi juga potensi membeli dari negara lain yang biaya produksinya lebih murah untuk menurunkan emisi.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penggunaan EBT Jadi Upaya Kolektif, Simak Diskusinya di ICF