Sri Mulyani Ungkap Nasib RI yang Ketiban Apes Negara Maju
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi dunia dalam situasi yang buruk. Tidak dalam definisi krisis, ekonomi negara-negara maju tumbuh terlalu cepat akan tetapi negara berkembang serta miskin ketiban apesnya.
Demikianlah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Kongres Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) tahun 2021, Selasa (23/11/2021)
Negara yang dimaksud antara lain Amerika Serikat (AS), Jerman, Prancis, Inggris, Singapura, dan juga Meksiko serta Italia.
"Negara-negara maju hadapi inflasi tinggi dan dihadapkan dengan disrupsi sisi supply dan kenaikan harga energi. Semuanya mendorong kenaikan harga yang sangat drastis," jelasnya.
"Maka negara maju dihadapkan pada pilihan sulit. Mengerem inflasi artinya juga mengerem pemulihan ekonomi yang salah satunya melalui kebijakan moneter yang berujung pada kenaikan suku bunga," ujar Sri Mulyani.
Kenaikan suku bunga acuan pada negara maju tentu akan membuat aliran dana keluar (outflow) dari negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini sudah pernah terjadi pada 2013 lalu, di mana AS mengambil langkah pengetatan dan membuat pasar keuangan Indonesia porak poranda atau dikenal dengan nama taper tantrum.
"Ini juga harus diwaspadai bagi Indonesia karena kalau terjadi di negara maju mereka akan dipaksa melakukan pengetatan moneter yang berakibat pada capital outflow dan tekanan ke nilai tukar," paparnya.
Indonesia kini berada jalur pemulihan atau baru mulai bangkit selepas hantaman varian delta pada Juli 2021 lalu. Mobilitas mulai meningkat mendorong peningkatan konsumsi masyarakat serta produksi yang ditandai dengan lonjakan pada PMI manufaktur Indonesia.
"Recovery dan rebound sudah terjadi di Oktober dan November," imbuhnya.
Hanya saja bila gejolak yang ditimbulkan oleh negara maju tersebut begitu besar, pemulihan ekonomi Indonesia akan terganggu. Pemerintah masih membutuhkan banyak dana yang cuma mampu dipenuhi oleh utang.
Situasi ini yang menurut Sri Mulyani sebagai konsekuensi atas ketidaksiapan pemulihan ekonomi. "Pemulihan yang terjadi namun tidak tanpa konsekuensi. Pemulihan cepat yang tidak diikuti supply akan menghasilkan kenaikan harga-harga, ini terjadi di AS," pungkasnya.
(mij/mij)