Saat Jokowi Wanti-Wanti Soal Stop PLTU-Ambisi Netral Karbon

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
23 November 2021 10:25
Presiden Joko Widodo dalam acara Indo EBTKE ConEx 2021
Foto: Presiden Joko Widodo dalam acara Indo EBTKE ConEx 2021 (Tangkapan Layar via Youtube meti ires)

Jakarta, CNBC Indonesia - RI punya target mencapai netral karbon pada 2060 mendatang atau lebih cepat. Salah satu langkah yang ditempuh dalam mencapai ambisi ini adalah dengan memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Selama ini ongkos produksi listrik dari batu bara masih yang paling murah dibandingkan dengan Energi Baru Terbarukan (EBT). Bila PLTU dihentikan, dan berganti pada listrik berbasis EBT, maka akan ada risiko tambahan biaya karena harga listrik EBT lebih mahal dibandingkan listrik batu bara.

Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti terkait rencana transisi energi ini agar jangan sampai justru membebankan negara maupun rakyat.

Saat membuka The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin (22/11/2021), Jokowi menyampaikan dalam acara G20 maupun COP26 di Glasgow pada akhir Oktober-awal November lalu, pembicaraan yang ada hanya berkutat pada bagaimana skenario global dalam bertransisi.

Pembicaraan yang sama menurutnya juga sudah dibahas tahun sebelumnya dan belum juga ditemukan jalan keluarnya, termasuk solusi pendanaan untuk transisi energi di negara berkembang. Pembicaraan seperti itu menurutnya terus saja terulang setiap tahunnya.

"Pada saat kita di G20, maupun di COP26 di Glasgow, kita hanya berkutat berbicara mengenai bagaimana skenario global masuk ke transisi energi. Tahun lalu seperti yang sudah masuk ke tema ini tapi juga belum ketemu jurusnya, skema seperti apa," ungkapnya di hadapan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dan para pengusaha Energi Baru Terbarukan (EBT) yang hadir di Istana Negara, Senin (22/11/2021).

"Tahun ini dibicarakan lagi dan skemanya belum ketemu. Dijanjikan US$ 100 miliar tetapi keluarnya dari mana juga belum ketemu," imbuhnya.

Jokowi mengaku sempat ditanya oleh PM Inggris Boris Johnson terkait mengapa target netral karbon atau net zero emission Indonesia masih pada 2060, apakah tidak bisa lebih maju? Karena menurut PM Inggris tersebut, negara lain bisa menargetkan pada 2050.

"Ya gapapa yang lain, kalau hanya ngomong saja saya juga bisa saya sampaikan. Di roadmap-nya seperti apa, peta jalannya seperti apa?" tuturnya.

Indonesia, lanjut Jokowi, memiliki kekuatan yang sangat besar, di mana sumber energi terbarukan mencapai 418 Giga Watt (GW) dari hidro, geothermal/ panas bumi, bayu/ angin, solar/surya dan lainnya.

Tapi di sisi lain, Indonesia sudah lama berkontrak dengan dengan PLTU batu bara.

"Pertanyaannya, skenarionya seperti apa? Misalnya pendanaan datang, investasi datang, kan harganya (EBT) lebih mahal dari batu bara. Siapa yang bayar gap-nya? negara? kita? gak mungkin," tuturnya.

Karena untuk menutup selisih biaya energi terbarukan dan batu bara ini, menurutnya bisa memerlukan biaya hingga ratusan triliun. Biaya ini juga menurutnya tidak mungkin dibebankan kepada masyarakat karena pasti akan membuat gaduh akibat kenaikan tarif listrik yang sangat tinggi.

"Angkanya berapa ratus triliun, gak mungkin atau dibebankan masyarakat? tarif listrik naik? juga tidak mungkin, ramai nanti. Geger kalau terjadi seperti itu karena kenaikannya sangat tinggi sekali," ungkapnya.

"Wong naiknya 10-15% demonya 3 bulan ini 2 kali. Skenario seperti apa, ini yang saya tugaskan kepada Menko Marves, Menteri ESDM, plus Menteri BUMN, yang konkret-konkret saja," tegasnya.

"Tapi kalkulasinya yang real. Itungan angkanya yang real. Kalau ini bisa kita mentransisikan, pasti ada harga naik, pas naik ini pertanyaannya siapa yang bertanggug jawab? Pemerintah, masyarakat, atau masyarakat global? mau mereka nombikin ini?" imbuhnya.

Jokowi mengatakan RI punya potensi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang sangat besar. Sungai di Indonesia mencapai 4.400, dari berukuran besar sampai sedang, di mana ini semua bisa dimanfaatkan untuk PLTA.

Karena investasinya besar, maka menurutnya akan dicoba terlebih dahulu pengembangan proyek EBT, yakni PLTA di dua sungai, yakni Sungai Kayan di Kecamatan Long Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, dan juga Sungai Mamberamo, Kabupaten Sarmi, Papua.

Dari dua sungai ini, potensi listrik masing-masing yaitu Sungai Kayan 13.000 MW dan Mamberamo 24.000 MW.

"Kita coba dua dulu, Sungai Kayan dan Sungai Mamberamo. Sungai Kayan 13.000 MW dan Mamberamo 24.000 MW. Oke carikan investor bisa masuk ke sana. Kalau sudah masuk jangan masuk lagi ke grid PLN. Bikin grid sendiri masuk ke industri, industrinya siapkan," tegasnya.

Dia mengatakan, bulan depan ditargetkan groundbreaking kawasan industri hijau (green industrial park) di Kalimantan Utara ini bisa dilakukan di mana sumber energinya berasal dari PLTA dari Sungai Kayan.

"Industri yang akan masuk ngantri ternyata, kita coba dulu. Mereka ingin semuanya produknya dicap sebagai green product dengan nilai, dengan harga yang jauh lebih tinggi dari produk-produk yang dari energi fosil," jelasnya.

Jika proyek ini berjalan, maka menurutnya bisa jadi skenarionya akan menjadi lebih mudah.

"Kalau ini gak jalan, kalau kita harapkan global mau gratiskan juga gak mungkin mereka mau nombokin gap ini, gak mungkin, percaya, kita sudah bicara dengan World Bank, dengan investor dari Inggris, juga waktu kita di Glasgow. Pertanyaannya pasti ke sana, siapa yang tanggung itu," ucapnya.

Masalah yang dihadapi dalam transisi energi adalah tambahan biaya karena lebih mahalnya harga listrik EBT, dan siapa yang bakal menanggungnya.

Jokowi mengatakan, dirinya sudah membicarakan hal ini dengan World Bank dan juga investor dari Inggris. Namun belum juga ada hasil.

Presiden meminta kepada semua jajarannya agar bersama-sama membuat skenario transisi ini. Jika bisa berjalan lebih cepat akan lebih baik, namun menurutnya hitung-hitungan di lapangan harus dikalkulasi dengan detail.

"Oh di Sungai Kayan bisa hydro, oh geothermal di gunung ini bisa, saya tahu bisa semua, tapi siapa yang tanggung angka yang tadi saya sampaikan," paparnya.

Menurutnya, ini menjadi pekerjaan rumah besar di dalam melakukan transisi energi. Tema ini dia sebut nantinya akan diulang lagi pada G20 di Bali pada 2022 mendatang. Jokowi mengaku tidak mau bicara seperti yang pernah disampaikan pada dua atau satu tahun lalu.

"Saya ingin pertanyakan ini, ada kebutuhan dana sekian, skemanya apa yang bisa kita lakukan," lanjutnya.

Jika solusi mengatasi gap ini ada, maka menurutnya transisi energi akan bisa berjalan, dan apabila tidak, kondisi ini dia sebut hanya membuat pusing dan tidak ada hasilnya.

"Kalau ada, berarti bisa menyelesaikan transisi energi, kalau ndak ya kita ndak usah bicara, pusing tapi gak ada hasilnya," tuturnya.

Jokowi pun meminta agar berbagai pihak memberikan masukan mengenai angka-angka kenaikan biaya dan besaran biaya yang harus dibayar untuk Indonesia saja. Dia berharap, masalah ini bisa dicarikan jalan keluar.

"Lagi, saya minta masukan dan kalkulasi detil angka-angka kenaikannya berapa, gap yang harus dibayar berapa untuk Indonesia saja. Kalau ketemu syukur bisa dirumuskan, Pak ini dari jurus ini, bisa diselesaikan dari sisi ini, bisa diselesaikan itu yang kita harapkan. Kalau ketemu (solusinya), saya sampaikan di G20 di Bali tahun depan," tandasnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular