
Saat Jokowi Wanti-Wanti Soal Stop PLTU-Ambisi Netral Karbon

Jakarta, CNBC Indonesia - RI punya target mencapai netral karbon pada 2060 mendatang atau lebih cepat. Salah satu langkah yang ditempuh dalam mencapai ambisi ini adalah dengan memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Selama ini ongkos produksi listrik dari batu bara masih yang paling murah dibandingkan dengan Energi Baru Terbarukan (EBT). Bila PLTU dihentikan, dan berganti pada listrik berbasis EBT, maka akan ada risiko tambahan biaya karena harga listrik EBT lebih mahal dibandingkan listrik batu bara.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti terkait rencana transisi energi ini agar jangan sampai justru membebankan negara maupun rakyat.
Saat membuka The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin (22/11/2021), Jokowi menyampaikan dalam acara G20 maupun COP26 di Glasgow pada akhir Oktober-awal November lalu, pembicaraan yang ada hanya berkutat pada bagaimana skenario global dalam bertransisi.
Pembicaraan yang sama menurutnya juga sudah dibahas tahun sebelumnya dan belum juga ditemukan jalan keluarnya, termasuk solusi pendanaan untuk transisi energi di negara berkembang. Pembicaraan seperti itu menurutnya terus saja terulang setiap tahunnya.
"Pada saat kita di G20, maupun di COP26 di Glasgow, kita hanya berkutat berbicara mengenai bagaimana skenario global masuk ke transisi energi. Tahun lalu seperti yang sudah masuk ke tema ini tapi juga belum ketemu jurusnya, skema seperti apa," ungkapnya di hadapan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dan para pengusaha Energi Baru Terbarukan (EBT) yang hadir di Istana Negara, Senin (22/11/2021).
"Tahun ini dibicarakan lagi dan skemanya belum ketemu. Dijanjikan US$ 100 miliar tetapi keluarnya dari mana juga belum ketemu," imbuhnya.
Jokowi mengaku sempat ditanya oleh PM Inggris Boris Johnson terkait mengapa target netral karbon atau net zero emission Indonesia masih pada 2060, apakah tidak bisa lebih maju? Karena menurut PM Inggris tersebut, negara lain bisa menargetkan pada 2050.
"Ya gapapa yang lain, kalau hanya ngomong saja saya juga bisa saya sampaikan. Di roadmap-nya seperti apa, peta jalannya seperti apa?" tuturnya.
Indonesia, lanjut Jokowi, memiliki kekuatan yang sangat besar, di mana sumber energi terbarukan mencapai 418 Giga Watt (GW) dari hidro, geothermal/ panas bumi, bayu/ angin, solar/surya dan lainnya.
Tapi di sisi lain, Indonesia sudah lama berkontrak dengan dengan PLTU batu bara.
"Pertanyaannya, skenarionya seperti apa? Misalnya pendanaan datang, investasi datang, kan harganya (EBT) lebih mahal dari batu bara. Siapa yang bayar gap-nya? negara? kita? gak mungkin," tuturnya.
Karena untuk menutup selisih biaya energi terbarukan dan batu bara ini, menurutnya bisa memerlukan biaya hingga ratusan triliun. Biaya ini juga menurutnya tidak mungkin dibebankan kepada masyarakat karena pasti akan membuat gaduh akibat kenaikan tarif listrik yang sangat tinggi.
"Angkanya berapa ratus triliun, gak mungkin atau dibebankan masyarakat? tarif listrik naik? juga tidak mungkin, ramai nanti. Geger kalau terjadi seperti itu karena kenaikannya sangat tinggi sekali," ungkapnya.
"Wong naiknya 10-15% demonya 3 bulan ini 2 kali. Skenario seperti apa, ini yang saya tugaskan kepada Menko Marves, Menteri ESDM, plus Menteri BUMN, yang konkret-konkret saja," tegasnya.
"Tapi kalkulasinya yang real. Itungan angkanya yang real. Kalau ini bisa kita mentransisikan, pasti ada harga naik, pas naik ini pertanyaannya siapa yang bertanggug jawab? Pemerintah, masyarakat, atau masyarakat global? mau mereka nombikin ini?" imbuhnya.
