
DMO Batu Bara Diubah, Tarif Listrik Naik atau APBN Bengkak!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengubah skema harga penjualan batu bara domestik atau Domestic Market Obligation (DMO).
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin.
Dia menjelaskan, pemerintah membuka opsi harga batas bawah (floor price) dari saat ini berlaku harga batas atas (ceiling price). Harga DMO untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) saat ini dipatok dengan harga US$ 70 per ton, sementara untuk pabrik pupuk dan semen ditetapkan sebesar US$ 90 per ton.
Menurutnya, ada lima permasalahan yang mendorong perubahan DMO ini. Pertama, kewajiban DMO sebesar 25% dikenakan kepada seluruh badan usaha pertambangan tahap operasi produksi.
Kedua, tidak semua spesifikasi batu bara yang diproduksi oleh badan usaha pertambangan punya pasar di dalam negeri. Ketiga, mengenai spesifikasi batu bara yang dimiliki pasar dalam negeri tidak semua diserap oleh pasar dalam negeri.
Keempat, konsumsi batu bara dalam negeri lebih kecil dibandingkan produksi batu bara nasional.
"Dan terakhir tidak semua badan usaha pertambangan memiliki kesempatan mendapatkan kontrak penjualan dengan pengguna batu bara dalam negeri," ungkap Ridwan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021).
Ridwan mengatakan, Kementerian ESDM memiliki tiga usulan dalam memecahkan masalah ini. Pertama, pembangunan fasilitas pencampuran batu bara (coal blending facility) yang dikelola oleh badan usaha (BUMN/swasta) untuk mengolah berbagai spesifikasi batu bara agar sesuai dengan spesifikasi batu bara yang dibutuhkan di dalam negeri.
"Kedua, skema pengenaan dana kompensasi bagi badan usaha pertambangan yang tidak dapat memenuhi kewajiban DMO, yang selanjutnya dana tersebut digunakan untuk menambah subsidi bagi PLN atau untuk pembangunan coal blending facility," lanjutnya.
Kemudian yang terakhir adalah alternatif pengaturan harga batu bara dalam negeri, terdiri dari penetapan harga batas atas (ceiling price) seperti yang saat ini sudah dilakukan untuk kelistrikan umum, industri semen dan pupuk.
Namun menurutnya ada kendala dalam penerapan skema harga batas atas ini, karena produsen batu bara akan cenderung menghindari berkontrak dengan konsumen batu bara dalam negeri saat harga batu bara domestik jauh lebih rendah. Mereka akan lebih memilih untuk membayar denda.
"Saat harga naik, produsen batu bara berpotensi untuk menghindari berkontrak dengan pengguna batu bara dalam negeri dengan adanya penetapan harga batas atas," tuturnya.
Selanjutnya, opsi penetapan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price).
"Harga batas bawah bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah," ungkapnya.
Kemudian, pengaturan skema kontrak penjualan dalam negeri melalui skema kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B).
"Skema ini akan memberikan kepastian bagi produsen batu bara maupun konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan," ucapnya.
