Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara hingga akhir September mencapai Rp 1.354,83 triliun. Realisasi ini tumbuh 16,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy).
Naiknya penerimaan negara ini ditopang oleh penerimaan pajak dari sektor pertambangan hingga perkebunan serta penerimaan bea keluar yang didorong oleh kenaikan sejumlah harga komoditas.
Secara rinci, penerimaan negara ini terdiri dari pajak sebesar Rp 850,06 triliun atau tumbuh 13,25% (yoy), Kepabeanan dan Cukai sebesar Rp 182,92 triliun atau tumbuh 28,98% dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 320,84 triliun atau tumbuh 22,53% serta hibah Rp 1,01 triliun.
 Foto: doc kemenkeu doc kemenkeu |
Untuk penerimaan pajak secara sektoral, kenaikan tertinggi terjadi di sektor pertambangan. Dimana penerimaan pajak dari sektor ini meningkat hingga 317,6% di akhir September 2021. Hal ini didorong oleh permintaan global dan meningkatnya harga komoditas tambang.
Kemudian, kenaikan tertinggi kedua adalah penerimaan pajak dari sektor perdagangan. Penerimaannya tumbuh 40,4% yang ditopang juga oleh pulihnya permintaan global dan domestik sehingga mendorong peningkatan produksi, konsumsi, ekspor dan impor.
Untuk penerimaan dari Bea dan Cukai ditopang oleh penerimaan Bea Keluar yang tumbuh hingga 910,6%. Kenaikan begitu tajam ini didorong oleh peningkatan ekspor komoditi tembaga dan tingginya harga produk kelapa sawit.
 Foto: doc kemenkeu doc kemenkeu |
Seperti diketahui, terjadi bom komoditas yang berdampak pada kenaikan harga CPO karena ketatnya persediaan. Kemudian, harga logam dasar juga meroket akibat krisis energi dan kebijakan dekarbonasi.
Sementara itu, penerimaan dari PNBP juga sudah melebih target APBN 2021 ditopang oleh pendapatan Sumber Daya Alam (SDA) Migas tumbuh 16,4% dan Nonmigas yang tumbuh 78,3%.
Untuk penerimaan SDA migas kenaikannya terutama disebabkan oleh kenaikan ICP sejak awal tahun. Sedangkan SDA non migas tumbuh ditopang oleh kenaikan harga komoditas pertambangan seperti batu bara, emas, perak, tembaga, timah dan nikel.
 Foto: doc kemenkeu doc kemenkeu |
Selain pertambangan, kenaikan penerimaan SDA non migas juga didukung oleh sektor kehutanan dan panas bumi. Dimana produksi kayu, penggunaan area kawasan hutan hingga pembayaran piutang PNBP penggunaan kawasan hutan mengalami peningkatan tajam.
Faktor-faktor ini lah yang menopang penerimaan negara tumbuh double digit hingga 16,8% per September 2021 atau sudah mencapai 77,7% dari total target penerimaan negara di APBN 2021.
Apa saja komoditas yang disebut 'durian runtuh' tersebut?
Minyak Bumi. Harga minyak bumi meningkat hingga lebih dari 100% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Brent kini mencapai US$ 85 per barel dan WTI US$ 83 per barel.
Peningkatan harga minyak dipengaruhi oleh tingginya permintaan atas kebutuhan energi yang melonjak di berbagai negara, sementara suplai dan produksi minyak masih ketat. Energy Information Administration AS melaporkan bahwa stok minyak mentah AS turun menjadi 31,2 juta barel, terendah sejak Oktober 2018. Produksi minyak mentah juga turun dalam pekan yang berakhir pada 15 Oktober.
Sementara itu, pandemi Covid-19 kembali menyebar luas di Rusia dengan pasien positif per 22 Oktober 2021 bertambah 37.141 orang, kasus positif harian tertinggi Rusia sepanjang masa pandemi. Hal tersebut memberikan tekanan pada prospek pasokan minyak ke depan
Kemudian minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Secara yoy, harga CPO alami kenaikan sampai 70% hingga kini berada pada level US$1.250 per ton. Dalam beberapa hari terakhir memang terlihat ada penurunan harga, namun ke depan diperkirakan kembali meningkat.
Ada peningkatan permintaan, khususnya menjelang perayaan Diwali pada November mendatang di India. Dari sisi ekspor, perusahaan surveyor kargo Societe Generale de Surveillance melaporkan bahwa ekspor CPO Malaysia turun 14 persen menjadi 920.085 ton pada periode 1 s.d. 20 Oktober 2021 dibandingkan periode yang sama bulan sebelumnya.
Batu bara kini menjadi yang paling berkilau. Dibandingkan tahun lalu ada kenaikan harga hingga 290%, dan sebesar 185% secara year to date (ytd). Meskipun dalam beberapa pekan terakhir ada penurunan akibat taking profit dari investor.
Selain itu, Pemerintah Tiongkok juga melakukan intervensi agar harga batu bara dapat turun dengan adanya persetujuan bagi 153 penambang batu bara untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Pada 18 Oktober 2021, produksi batu bara Tiongkok per 18 Oktober 2021 tercatat mencapai 11,6 juta ton atau meningkat 8,6 persen dibandingkan posisi akhir bulan lalu.
Tiongkok menargetkan produksi sebesar 12 juta ton per hari untuk dapat mengimbangi tingginya permintaan batu bara menjelang musim dingin, di mana permintaan terhadap batu bara lebih tinggi.
Hal ini kemudian menjadi banyak pertanyaan, akankah RI tahun depan bebas utang? Jawabannya jelas sekali tidak.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 diperkirakan masih akan mengalami defisit hingga Rp 868 triliun atau 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini akan menjadi tambahan dari nominal utang Indonesia yang kini mencapai sekitar Rp 6000 triliun.
Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya penerimaan, penarikan utang bisa dikurangi. Seperti tahun ini. Defisit tahun ini diperkirakan lebih rendah, yaitu 5,59% dari yang sebelumnya diasumsikan 5,7%.
"Seiring pemulihan, defisit fiskal juga terus turun dari 2020 sebesar 6,14% (realisasi 2020), menjadi 5,59% (APBN 2021)," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.
Hingga September 2021, defisit anggaran mencapai Rp 452 triliun atau 2,74% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara keseimbangan primer Rp 198,3 triliun.
Di mana belanja negara pada September 2021 alami penurunan sebesar 1,9% (year on year/yoy) menjadi Rp 1.806,8 triliun atau 65,7% dari pagu APBN. Meliputi belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.265,3 triliun dengan KL sebesar Rp 734 triliun dan non KL Rp 531 triliun. Selanjutnya ada TKDD dengan Rp 541,5 triliun atau turun 14%
"Sensitivitas APBN terhadap komoditas memang tinggi, terutama dari sisi penerimaan pajak dan non-pajak (PNBP). Hal ini positif bagi postur fiskal dalam jangka pendek," ungkap Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro kepada CNBC Indonesia.
Setidaknya sebagian dari PNBP ditopang oleh sektor migas. Kemudian ada 30% industri ekspor juga dipengaruhi oleh harga komoditas batu bara minyak kelapa sawit dan nikel.
Hanya saja, pemerintah tidak boleh lengah. Sebab kemungkinan perubahan ekonomi global yang dimotori oleh negara maju lewat normalisasi stimulus moneter seperti Amerika Serikat dan Eropa bisa menurunkan harga komoditas ke depannya.
"Ketika normalisasi stimulus moneter menurunkan harga komoditas global, APBN dan keseimbangan eksternal kita bisa dalam tekanan lagi," ujarnya.