
Kacau Dunia Persilatan! Para 'Raksasa' Lemah-Letih-Lesu...

Hasil survei Reuters terhadap para ekonom menunjukkan di tahun depan akan semakin banyak bank sentral yang menaikkan suku bunga. Sebanyak 500 ekonom berpartisipasi dalam survei ini, dan hasilnya sebanyak 13 dari 25 bank sentral dunia diperkirakan akan menaikkan suku bunga setidaknya 1 kali di tahun depan. Beberapa di antaranya yakni bank sentral Selandia Baru, Rusia dan Brasil sudah menaikkan suku bunga di tahun ini.
Bahkan, bank sentral Rusia dan Brasil sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Pada Jumat (22/10) bank sentral Rusia menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 7,5%. Dengan kenaikan tersebut, bank sentral Rusia sudah menaikkan suku bunga 5 kali beruntun, dengan total 325 basis poin.
Kemudian bank sentral Brasil Kamis kemarin menaikkan suku bunga sebesar 150 basis poin menjadi 7,75%, dan sudah 6 kali beruntun menaikkan suku bunga dengan total 475 basis poin.
Bank sentral utama dunia tampaknya juga bersiap menaikkan suku bunga. Bank Sentral Inggris (BoE) bahkan diprediksi akan menaikkan suku bunga pada pekan depan.
Pasar memperkirakan ada probabilitas sebesar 60% BoE akan menaikkan suku bunga sebesar 15 basis poin menjadi 0,25%.
Bukan tanpa sebab, probabilitas tersebut muncul setelah Gubernur BoE, Andrew Bailey, dua pekan lalu mengatakan tengah bersiap untuk menaikkan suku bunga guna meredam laju inflasi.
Bank sentral paling powerful di dunia, yakni bank sentral AS (The Fed) juga tidak ketinggalan. Dengan inflasi yang mencapai level tertinggi dalam 30 tahun terakhir, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunganya di tahun depan.
Namun, kenaikan suku bunga tersebut bisa membuat roda bisnis melambat, sehingga pemulihan ekonomi menjadi terancam.
Sekitar seperempat dari 171 ekonom yang merespon survei Reuters terkait risiko yang dihadapi perekonomian global menyatakan salah satu yang terbesar dan bisa menimbulkan pelambatan yakni bank sentral yang terlalu cepat mengurangi stimulus moneter.
"Banyak bank sentral utama saat ini berhati-hati untuk mengakhiri kebijakan moneter ultra longgar (menaikkan suku bunga). Sebab, itu dilakukan bukan karena pemulihan ekonomi yang kuat," kata Jan Lambregts, kepala riset pasar dan ekonomi global di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (29/10).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]