Harga Minyak Dunia Melonjak, RI Untung atau Buntung?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
28 October 2021 14:59
Kilang minyak
Foto: Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia masih terbilang cukup tinggi meski turun tipis di perdagangan pagi ini. Pada Kamis (28/10/2021) pukul 08:23 WIB, harga minyak jenis Brent berada di US$ 83,27 per barel, turun 1,55% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Lantas, seperti apa dampak tingginya harga minyak dunia bagi RI, untung atau buntung? Terlebih, ketika Indonesia merupakan pengimpor bersih (net importer) minyak.

Pri Agung Rakhmanto, Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute, mengatakan bahwa sebagai negara pengimpor minyak, yang terjadi saat harga minyak naik adalah ada tambahan penerimaan negara di sisi hulu, namun masih lebih kecil daripada ongkos yang dikeluarkan di sisi hilir.

"Dengan posisi sebagai net oil importer, maka yang terjadi pada saat ada kenaikan harga minyak adalah bahwa tambahan penerimaan di sisi hulu dari kenaikan harga tersebut akan lebih kecil dibandingkan dengan tambahan pengeluaran di sisi hilirnya untuk impor, subsidi," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (28/10/2021).

Jika kenaikan harga minyak jauh lebih tinggi daripada asumsi yang telah ditetapkan di dalam APBN dan ini berlangsung lama, maka ini akan menjadi beban negara.

Meski demikian, menurutnya pilihan yang diambil pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM di tengah pandemi dan menuju pemulihan ekonomi adalah pilihan yang rasional.

"Di tengah kondisi pandemi dan menuju pemulihan ekonomi, dari berbagai aspek, khususnya stabilitas politik dan ekonomi, menurut saya, pilihan itu (tidak menaikkan harga BBM) adalah yang paling rasional yang dapat dilakukan pemerintah," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, dalam hal ini yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana agar administrasi dan mekanisme pemberian kompensasi kepada Pertamina dijamin dan dijalankan secara transparan, sehingga secara keuangan Pertamina tidak terbebani dan penyaluran BBM kepada masyarakat tidak terganggu.

"Dalam konteks ini juga, dalam keterkaitannya dengan APBN, secara umum saya melihatnya tetap akan terkelola dengan baik, meskipun tentu ada deviasi di dalam realisasinya dibandingkan dengan asumsi-asumsi yang ditetapkan," jelasnya.

Pri menjelaskan, semua komponen memang bergerak, baik dari sisi penerimaan serta belanja, di sektor migas dan non migas. Sama halnya dengan komoditas yang tengah membubung, seperti batu bara, nikel, timah, dan mineral logam lainnya.

Artinya, lanjutnya, komponen penerimaan negara dari sisi pajak juga akan bergerak. Dengan demikian, lonjakan harga minyak bukan faktor tunggal di dalam penentu kesehatan APBN saat ini.

"Pemerintah tentu punya semua hitungan dan skenarionya dan sudah sangat berpengalaman mengelola kondisi kenaikan harga minyak seperti yang terjadi sekarang ini. Jadi, saya pikir, APBN dengan deviasinya yang terjadi, tetap akan terkendali dengan baik," paparnya.

Sementara itu, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan, kenaikan harga minyak saat ini relatif lebih menguntungkan. Pasalnya, subsidi BBM ditetapkan dengan mekanisme tetap (fix) untuk Solar.

"Sehingga kalau harga minyak mentah naik, secara konsep jika konsisten dengan kebijakan tersebut, maka tidak akan menjadi beban APBN. Sementara naiknya harga akan menambah penerimaan APBN dari migas," jelasnya.

Menurutnya, risiko lonjakan harga minyak ini kemungkinan akan dibebankan kepada PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha yang menerima penugasan penyaluran BBM atau dibebankan kepada konsumen.

Namun di tengah pandemi, akan sulit bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM dan menambah beban masyarakat. Pemerintah pun berjanji memberikan kompensasi kepada Pertamina agar tidak merugi. Namun menurutnya, kompensasi tidak bisa diandalkan karena bukan seperti subsidi yang sudah ditetapkan.

"Kompensasi itu pembayarannya akan dilakukan ke tahun berikutnya, dan dengan syarat kalau ada uangnya. Betul (kalau tidak ada uangnya, tidak ada kompensasi) karena juga mengingat hal tersebut tidak diatur dalam APBN. Basis Pertamina untuk menagihnya kemudian apa," tuturnya.

Menurutnya dengan kondisi ini, bisa dipastikan Pertamina bakal merugi, meski ada kemungkinan dibayar jika ada uangnya.

"Pasti merugi. Hanya saja kan Pertamina dijanjikan kompensasi," ucapnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut realisasi subsidi energi sampai September 2021 telah mencapai Rp 88,2 triliun, melonjak 18,3% dari periode yang sama pada tahun lalu yang hanya sekitar Rp 74,6 triliun.

Dia mengatakan, meningkatnya subsidi energi selama Januari-September 2021 dibandingkan periode yang sama 2020 karena dipengaruhi harga keekonomian dan peningkatan volume penyaluran barang bersubsidi, baika Bahan Bakar Minyak (BBM), Liquefied Petroleum Gas (LPG), hingga listrik.

"Realisasi sampai Agustus untuk volume penyaluran barang energi ini naik seiring kenaikan kegiatan masyarakat," tuturnya dalam konferensi pers APBN Kita edisi Oktober 2021, Senin (25/10/2021).

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular