
ESDM Bantah RI Kecolongan Ekspor Bijih Nikel

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sudah melarang ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020 lalu. Meski sudah dilarang, menurut Ekonom Senior Faisal Basri, RI masih kecolongan ekspor bijih nikel ke China.
Namun demikian, pemerintah membantah isu kecolongan ekspor bijih nikel ini.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, pihaknya sudah menggelar rapat dengan Kementerian dan Lembaga terkait, juga dengan kedutaan besar Indonesia di China untuk membicarakan soal informasi kecolongan ekspor bijih nikel.
"Kami buat rapat, sesuai arahan pimpinan, klarifikasi informasi yang beredar di luar, gak spesifik siapa yang sampaikan tentang adanya kemungkinan impor bijih nikel di Tiongkok dari Indonesia," ungkapnya dalam konferensi pers, Selasa (26/10/2021).
Dia menjelaskan, dalam rapat tersebut tidak ada satupun Kementerian yang mengonfirmasi adanya impor bijih nikel dari Indonesia ke China.
"Satu-satunya informasi yang kami konfirmasi ulang adalah info dari kedutaan Indonesia di Tiongkok bahwa bea cukai Tiongkok catat adanya impor bijih nikel dan konsentrat nikel di Tiongkok dari Indonesia," ucapnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, dalam sistem ekspor impor yang dipakai China, bijih nikel dan konsentrat memiliki nomor HS yang sama, sehingga belum pasti apakah yang diimpor konsentrat atau bijih nikel.
"Ini sedang kami klarifikasi dan konfirmasi dengan bea cukai Tiongkok melalui kedutaan besar di sana, tidak ada yang kecolongan per status hari ini," tegasnya.
Sebelumnya, Faisal Basri mengatakan, meski data Indonesia menyebut tak ada lagi ekspor bijih nikel, namun berdasarkan data dari China, mereka masih mengimpor bijih nikel dari Indonesia pada 2020.
"Kalau data Indonesia gak ada ekspor, tapi China ada. Tahun 2020 juga terjadi lagi, mengulangi data tahun 2015 dan 2016," paparnya dalam "CORE Media Discussion Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan", Selasa (12/10/2021).
Dia mengatakan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 sudah tidak ada lagi ekspor kode HS 2604 bijih nikel dan konsentrat.
Akan tetapi, General Customs Administration of China mencatat tahun 2020 lalu ada 3,4 juta ton HS 2604 impor dari Indonesia dengan nilai lebih tinggi dari 2014, yakni US$ 193,6 juta.
Dengan kurs Rp 14.577 pada tahun tersebut, diperkirakan nilai ekspornya mencapai sekitar Rp 2,8 triliun. Dari sini, menurutnya bisa dihitung potensi dari kerugian negara.
"Atau Rp 2 triliun kurs 14.577 JISDOR 2020 ini. Jadi, bisa dihitung potensi kerugian negara," ungkapnya.
Faisal juga menyoroti perbedaan data ekspor nikel RI ke China. Berdasarkan data dari International Trade Center, imbuhnya, ekspor iron and steel (HS 72) pada 2018, berdasarkan catatan China, sebesar US$ 2,9 miliar.
Akan tetapi, berdasarkan catatan Indonesia ekspor ke China hanya sebesar US$ 2,6 miliar. Dengan demikian, ada ekspor HS 72 ke China yang menurutnya tidak tercatat.
"Impor China dari Indonesia tahun 2018 US$ 2,9 miliar, tapi Indonesia mencatat hanya US$ 2,6 miliar, jadi ada yang gak kecatat di ekspor kita, ini US$ 300 juta entah under reporting, entah apa kita gak tahu," kata Faisal.
Menurutnya, ketidakcocokan data ekspor semacam ini perlu dilakukan audit secara menyeluruh.
"Kita kasih clue-nya ini loh yang harus diaudit menyeluruh," lanjutnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penambang Minta Penjualan Bijih Nikel Dibatasi, Kenapa?
