Sri Mulyani Beberkan Keganasan Krisis 1998, 2008 dan Covid-19

Mira Rachmalia, CNBC Indonesia
24 October 2021 15:13
KTP Bakal Jadi NPWP, Ini Alasan Sri Mulyani
Foto: Ilustrasi Sri Mulyani (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bercerita tentang tiga krisis multidimensi yang pernah dan sedang dihadapi Indonesia.

Krisis pertama terjadi pada kurun waktu 1997-1998 yang tidak hanya dihadapi Indonesia tapi juga negara Asia lain seperti Thailand dan Korea Selatan yang dampaknya bahkan menjalar ke Amerika Latin. Ia memaparkan, perekonomian Indonesia saat itu mengalami kontraksi hingga minus 13% dan inflasi mencapai 75%.

Krisis keuangan yang berdampak pada sektor riil memicu krisis multidimensi yang berimpak pula pada peningkatan pengangguran dan lonjakan kemiskinan. Semua itu yang akhirnya memicu krisis politik dan melahirkan reformasi di semua bidang, termasuk keuangan.

"Ending-nya reform. Muncul UU Keuangan Negara karena pada waktu itu keuangan negara belum mengadopsi satu prinsip pengelolaan yang sama secara internasional. Muncullah BI yang diberikan independensi, muncullah sektor untuk me-regulate perbankan harusnya pada waktu itu, muncullah kita punya UU bank currency, dilahirkan dalam rangka mengantisipasi kebangkrutan yang masif, muncullah UU mengenai kompetisi, karena pada waktu itu terjadi kartelisasi, oligarki atau konglomerasi yang menimbulkan persoalan," ujar Sri Mulyani.

Hal itu dipaparkan Sri Mulyani saat menjadi keynote speaker dalam acara peluncuran buku 25 Tahun Kontan yang digelar secara virtual Minggu (24/10/2021).

Krisis kedua adalah krisis ekonomi 2008-2009. Perbedaannya, jika pada krisis sebelumnya Sri Mulyani berperan sebagai pengamat yang membantu menjelaskan kondisi yang sedang terjadi, pada krisis kedua Ia ikut sebagai pembuat kebijakan. Krisis ekonomi global yang dipicu oleh kebangkrutan perusahaan properti AS Lehman Brothers ini dengan cepat menjalar ke seluruh dunia karena terjadi di negara yang merupakan episentrum keuangan dunia.



Namun, menurut Sri Mulyani, sistem keuangan Indonesia yang telah dibenahi usai dilanda krisis sebelumnya relatif mampu mengatasi krisis yang sempat menyebabkan kepanikan global.

"Namun karena di krisis kedua ini kita sudah punya LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang sebagai stop gate-nya makanya keuangan negaranya kenanya di LPS dulu. Kalau LPS itu waktu itu modalnya drop di bawah yang dimiliki, pemerintah harus menginjeksi karena dia yang menjadi stabilizer-nya dari yang disebut deposit insurance," katanya.

Krisis ketiga terjadi pada 2020 ketika pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia tanpa diskriminasi. Pandemi yang mengancam nyawa manusia menyebabkan berhentinya aktivitas sosial yang sekaligus mematikan kegiatan ekonomi dan membuat berbagai sektor berjatuhan. Menurut dia, pemerintah hadir dengan berbagai skema untuk penyelamatan pada berbagai sektor.

"Untuk masyarakat yang nggak punya tabungan, kehilangan pekerjaan, pendapatannya drop, kita naikkan bansosnya besar sekali terutama tadi kesehatan dulu kemudian bansos yang luar biasa. UMKM yang nggak bisa survive karena masyarakatnya seluruh kegiatannya lumpuh, dia dibantu melalui restrukturisasi kredit bantuan pemerintah untuk usaha kecil dan subsidi bunga dan lain-lain, jaminan terhadap pinjaman, semuanya diberikan supaya UMKM tetep bisa berdegup," ujar Sri Mulyani.

Dalam kesimpulannya, dia menegaskan pada setiap tekanan dan krisis pada ekonomi, keuangan negara harus mampu menjadi penarik dan penyembuh perekonomian sehingga sangat penting menyiapkan amunisi dan menyehatkan keuangan negara saat negara dalam keadaan sehat.

"Makanya, waktu ekonominya bagus kita harus accumulate yang disebut amunisi itu, defisitnya kita turunkan sehingga kita punya fiscal space. Begitu terjadi hantaman, space itu yang dipakai," kata Sri Mulyani.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Titah Jokowi: Jangan Sampai Pembangunan tidak Selesai di 2024

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular