"Pemerintah Jangan Sampai Ulangi Kesalahan Kayak Krisis 1998"
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah diharapkan tidak terlalu buru-buru mengencangkan ikat pinggang, sementara pandemi covid-19 belum usai. Kini kasus covid memang landai, namun tidak ada jaminan kondisi yang sama bertahan hingga tahun depan.
"Saya ingin mengingatkan kita memang punya target (defisit) 3% tapi saya kira kita juga mesti fleksibel, jangan sampai gara-gara ngejar 3% itu fiskalnya di tighten to early," ujar Ekonom Senior Chatib Basri dalam webinar Bincang APBN 2022, Senin (18/10/2021).
Defisit diperbolehkan melewati batas 3% sampai 2023 tertera dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2020. Tujuannya kala itu agar pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih lebar untuk penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional.
Sepertinya pemerintah tidak sabar. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pemerintah mengurangi anggaran perlindungan sosial menjadi Rp 252,3 triliun. Sederet insentif pajak juga dikurangi dengan cara pemberian yang lebih selektif.
Di saat yang bersamaan, ada UU HPP dengan kebijakan di antaranya adalah kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11% dan pengenaan pajak karbon serta cukai untuk beberapa kelompok barang tertentu. Sehingga bisa menambah penerimaan dan memperkecil defisit.
Hanya saja, kebijakan tersebut tentu akan memberatkan masyarakat yang saat ini baru beranjak pulih. Belum lagi kalau seandainya lonjakan kasus covid kembali terulang. Risiko yang masih terbuka lebar seiring dengan kekebalan komunal dari vaksinasi belum kunjung tercapai.
Pemerintah, kata Chatib harus belajar dari kejadian 1998. Saat Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan pemerintah Indonesia agar mulai memperketat fiskal sementara krisis masih melanda segenap masyarakat. Dampaknya, pemulihan pasca krisis menjadi lebih lama dan membutuhkan uang lebih banyak.
Sama dengan yang terjadi kini, di mana pemerintah harus berhadapan dengan target batas defisit harus kembali ke bawah 3% dari PDB pada 2023. Bila batas tersebut kembali dilonggarkan selama 2-3 tahun ke depan, maka Chatib menilai semua pihak dapat memaklumi.
Chatib mengamati perkembangan banyak negara. Dia tidak menemukan negara yang mengurangi stimulus secara signifikan ataupun menarik pajak lebih tinggi kepada rakyatnya.
"Jadi intinya adalah kalau memang itu masih bisa dibutuhkan dilakukan saja, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dilakukan di tahun 98 ketika IMF menganjurkan kita untuk tightening fiskal pada saat masih resesi," tegasnya.
(mij/mij)