Ambisi Menkes Bawa RS Milik Pemerintah RI Jadi Juara di ASEAN

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
12 October 2021 07:03
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat Konfrensi Pers Kedatangan Vaksin Covid-19 Tahap 2, Bandara Soekarno Hatta, 31 Desember 2020. (Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)
Foto: Budi Gunadi Sadikin (BPMI Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melantik sejumlah pejabat pimpinan tinggi pratama (eselon II) di lingkungan Kementerian Kesehatan, Senin (11/10/2021).

Dalam kesempatan itu, turut dilantik Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dr. Agus Dwi Susanto sebagai Direktur Utama RSUP Persahabatan dan Kepala Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Bandung Dr. drg. Maya Marinda Montain, M.Kes sebagai Direktur Perencanaan Organisasi dan Umum RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.

Dalam sambutannya, BGS, sapaan akrab Budi Gunadi Sadikin, menekankan keberadaan RS vertikal atau RS milik pemerintah sebagai komponen utama dalam reformasi sektor kesehatan.

"Dan saya tinggi harapannya ke RS-RS milik pemerintah ini. Saya tidak akan bosan-bosan mengulangi harapan saya, cita-cita saya, untuk RS-RS vertikal ini bahwa yang pertama mereka benar-benar harus menjadi rujukan di Asia Tenggara," ujarnya.

"Dalam arti apa, dalam arti harapannya nanti ya kalau terjadi, nggak ada orang Indonesia yang kalau merawat mencari kualitas yang baik itu keluar negeri. Orang Indonesia akan mencari perawatannya di RS vertikal di Indonesia," lanjutnya.



BGS mengaku mendapat banyak laporan perihal layanan medis dan nonmedis RS vertikal di tanah air. Misalnya dari sisi dokter yang jarang ada di tempat sehingga pasien lebih senang ke Malaysia atau Thailand lantaran dokter yang lebih attentive alias penuh perhatian terhadap mereka.

"Saya juga dengar bahwa antreannya itu panjang sekali sehingga orang-orang kita lebih senang juga pergi keluar. Saya juga dengar sebagian karena kualitas perawatannya nggak bagus sehingga orang-orang kita banyak yang pergi keluar," kata BGS.

"Saya juga dengar kualitas layanan nonmedisnya yang tidak bagus ya sehingga orang-orang bergumam di belakang bahwa RS vertikal kita adalah RS kelas tiga. Sedangkan kelas 2 dan kelas 1 di swasta. Dokternya berasal dari RS-RS vertikal tapi layanan nonmedisnya karena demikian buruknya sehingga orang-orang tidak mau masuk ke RS vertikal kita," lanjutnya.

Oleh karena itu, BGS menyebut indikator pelayanan medis dan nonmedis RS vertikal itu sederhana. Buktinya adalah keinginan orang-orang terkemuka di tanah air ingin dirawat di sana.

"Memang target saya yang pertama itu sudah bisa dicapai oleh RS-RS pemerintah kita. Selama masih banyak orang-orang itu baik pejabat negara maupun swasta besar yang pergi keluar negeri dan tidak dirawat di RS vertikal kita itu menunjukkan kualitas layanan medis dan nonmedis di RS vertikal kita belum sesuai dengan harapan saya," ujar BGS.

"Malah idealnya kalau bisa banyak pengusaha besar ASEAN, pejabat negara ASEAN yang datang ke kita, karena mereka tahu untuk mendapatkan layanan medis maupun layanan nonmedis yang terbaik yang ada di region ini adanya adalah di RS-RS vertikal di Indonesia. Ukurannya sesederhana itu," lanjutnya.

Lebih lanjut, BGS menginginkan semua RS vertikal atau RS milik pemerintah menjadi rujukan Asia Tenggara lantaran layanan medis yang extraordinary. Hal itu dibuktikan dengan banyak hasil riset kerja sama yang dilakukan itu berkelas internasional.

"Jadi saya berharap RS-RS vertikal bukan hanya sibuk mengurusi BPJS kemudian dokter-dokternya sibuk di luar, yang kerja hanya dokter residen dan yang bekerja di sana, repot melayani nasabah BPJS tapi lupa melakukan penelitian-penelitian, masuk ke jurnal-jurnal internasional, bekerja sama dengan peneliti-peneliti luar negeri supaya bisa mengangkat nama dari RS-RS vertikal kita," ujarnya.

Eks Wakil Menteri BUMN itu mengaku sudah terpapar jurnal-jurnal penelitian luar negeri. Ia melihat banyak dokter RS di luar negeri yang menulis, berbeda dengan dokter asal Indonesia.



"Hampir tidak ada RS-RS vertikal, dokter-dokter kita di sana, yang masuk ke jurnal-jurnal terkemuka dunia. Ada segelintir tapi untuk populasi sebesar Indonesia, RS sebesar Indonesia, sangat jauh dibandingkan Singapura yang penduduknya cuma 5 juta banyak sekali artikel-artikel jurnal internasional yang ditulis oleh dokter-dokter Singapura dibandingkan yang ditulis oleh dokter-dokter kita," kata BGS.

Untuk itu, dia menekankan, kewajiban para direksi untuk memastikan dokter tidak hanya sibuk praktik tapi juga melakukan penelitian. Tujuannya agar bisa meningkatkan kualitas dan pengembangan layanan medis dari RS-RS vertikal.


"Jadi harapan saya apa? Harapan saya lebih sering melihat di jurnal-jurnal internasional terkemuka ada nama-nama dokter-dokter RS vertikal. Kalau saya sering melihat bahwa dokter-dokter dari RS hebat di luar negeri yang datang untuk bekerja sama dengan RS vertikal, itu artinya cita-cita saya yang kedua sudah terpenuhi," ujar BGS.

Dalam kesempatan itu, BGS mengingatkan kalau RS vertikal atau RS pemerintah dibiayai oleh negara. Tidak haya itu, dia pun mengingatkan kalau RS vertikal memiliki tugas mengampu seluruh RS yang sesuai dengan kekuatan masing-masing.

"Jadi saya sangat berharap setiap RS vertikal itu bisa menjadi mercusuar dari semua masalah medis yang terkait dengan kekuatan RS vertikal," ujar BGS.

Ia lantas mengapresiasi kerja-kerja RS Harapan Kita yang membangun jaringanan pelayanan jantung di seluruh Indonesia. Dengan begitu, pasien tidak perlu ke Jakarta jika melakukan operasi jantung terbuka.

Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu menilai RS Harapan Kita dengan sistematis mendistribusikan alat, kemampuan dokter hingga perawat untuk melakukan intervensi jantung. Mulai dari pemasangan stent sampai operasi jantung terbuka. Sehingga dengan demikian layanan intervensi jantung bisa dilakukan dengan kualitas yang mirip di seluruh Indonesia.



"Jadi kalau saya lihat saya ngukurnya gampang. Kalau ternyata antreannya masih panjang di seluruh RS, kalau kemudian juga di RS-RS daerah ternyata tindakan medis seperti itu tidak bisa dilakukan, itu ciri-cirinya RS vertikal kita gagal dalam melakukan tugasnya sebagai pengampu secara nasional dari RS-RS yang ada di seluruh Indonesia," kata BGS.

"Saya sangat berharap setiap RS vertikal setidak-tidaknya harus bisa mengampu semua RS daerah dan swasta di provinsinya dia berada, idealnya malah bisa mengampu satu provinsi lain yang memang terbelakang yang kita tidak memiliki RS di sana," lanjutnya.

BGS mencontohkan RS di NTT dan Papua yang selama ini kualitas layanan medisnya turun, bisa naik gara-gara diampu salah satu RS vertikal.

"Sehingga orang Papua dan NTT tidak perlu terbang ke Jawa dan Bali untuk dioperasi itu adalah ciri-ciri keberhasilan RS vertikal kita," ujar BGS.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular