Harga Batu Bara Melangit, Saatnya Pengusaha Kena Pajak Ekstra

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
Jumat, 08/10/2021 12:10 WIB
Foto: Kapal tongkang Batu Bara (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Melangitnya harga batu bara menjadi angin segar bagi para Taipan batu bara. Sejak akhir 2020 (year to date), harga batu bara telah meroket 188,7%. Meski dalam dua hari berturut-turut ini turun, namun harganya masih di atas US$ 200 per ton.

Pada perdagangan di pasar ICE Newcastle (Australia) kemarin, Kamis (07/10/2021), harga batu bara masih di atas US$ 200 per ton, yakni US$ 224,90 per ton, meski anjlok dibandingkan dua hari sebelumnya yang mencapai masa puncaknya US$ 280an per ton.

Sementara itu, RI saat ini masih terbelit utang yang menggunung. Lalu, di momentum kenaikan harga batu bara ini, apa yang mestinya dilakukan pemerintah untuk mendorong penerimaan negara?


Ekonom INDEF Abra Talattov mengatakan, pemerintah perlu melihat apakah mungkin menerapkan windfall profit tax alias pajak tambahan karena meledaknya harga komoditas di atas harga tertentu, sehingga mendongkrak keuntungan pengusaha jauh lebih besar dari kondisi normal.

"Pemerintah bisa exercise apakah mungkin menerapkan windfall profit tax. Ada kondisi extraordinary dalam satu sektor terdapat peningkatan keuntungan di luar ekspektasi," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (07/10/2021).

Dia meminta kepada pemerintah agar di dalam reformasi perpajakan, tidak hanya tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Menurutnya, pengenaan pajak ini diperlukan untuk mendukung penerimaan negara dari sektor pertambangan yang harganya tengah melonjak "gila-gilaan" saat ini.

Jika hanya mengandalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), imbuhnya, penerimaan negara tidak akan signifikan karena jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak untuk sektor pertambangan telah diatur, seperti iuran tetap, besaran royalti, dan lainnya, sehingga tidak akan berpengaruh signifikan.

"Dengan regulasi existing ini belum berdampak signifikan pada pengurangan utang pemerintah. Apalagi sektor pertambangan ini termasuk sektor yang kontribusinya terhadap pajak masih rendah, dengan share terhadap PDB 6,4%, tapi sumbangan terhadap pajak baru 3,4%," jelasnya.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyampaikan hal serupa. Menurutnya, di tengah kenaikan harga komoditas, terutama batu bara, Indonesia bisa melihat negara lain seperti India, Inggris, dan Malaysia yang menerapkan pajak progresif windfall profit tax.

"Windfall profit tax yang kalau harga produk itu apakah batu bara atau CPO di Malaysia melewati angka tertentu, maka pajaknya dinaikkan," tuturnya.

Pajak ekstra ini telah diterapkan oleh beberapa negara, termasuk juga Inggris. Jika Indonesia juga mau menerapkannya, maka menurutnya tinggal mencontohnya saja. Namun, dia mempertanyakan apakah Indonesia punya keberanian untuk menerapkan usulan pajak ekstra ini.

"Tinggal kita mau gak, berani gak berhadapan dengan konglomerat dan oligarki. Lebih tergantung pada bagaimana pemerintah menjalankan prinsip yang ada di Pancasila atau keadilan yang harus dilaksanakan," lanjutnya.

Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara hingga Rabu (6/10/2021), tercatat telah menembus Rp 49,84 triliun.

Jumlah penerimaan ini bahkan telah melampaui target satu tahun penuh yang direncanakan sebesar Rp 39,1 triliun. Artinya, realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan minerba telah mencapai 127,45% dari target tahun ini.

Adapun dari total penerimaan negara dari sektor minerba tersebut, sekitar 75-80% berasal dari batu bara saja. Dengan demikian, penerimaan negara dari batu bara sampai saat ini telah mencapai sekitar Rp 40 triliun.

Dari jumlah tersebut terlihat memang bahwa kenaikan harga batu bara tidak berdampak signifikan pada upaya RI menurunkan utang. Bahkan, posisi utang RI masih terus bertambah per bulannya.

Kementerian Keuangan melaporkan hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.625,43 miliar atau setara dengan 40,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam buku APBN Kita edisi September 2021, dijelaskan utang pemerintah pada Agustus 2021 malah bertambah sebesar Rp 55,27 triliun jika dibandingkan dengan posisi Juli 2021.

Kekayaan para taipan batu bara makin menggila akibat kenaikan harga ini, salah satunya Taipan asal Singapura yang memiliki tambang batu bara di Kalimantan, Low Tuck Kwong. Mengutip Forbes, kekayaan pendiri dan pemilik saham PT Bayan Resources Tbk (BYAN) ini dikabarkan melonjak hingga Rp 12,87 triliun dalam 10 hari.

Berdasarkan data real time billionaire, pada 20 September 2021 lalu Low Tuck Kwong tercatat sebagai taipan terkaya nomor 16 di Indonesia dengan total kekayaan mencapai US$ 1,20 miliar atau setara dengan Rp 17,16 triliun.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Menilik Prospek & Tantangan Akselerasi Hilirisasi Minerba