Bongkar Rencana Pajak Jokowi: Bantu si Miskin atau si Kaya?

Cantika Adinda Putri & Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
04 October 2021 12:10
Infografis: Ini Insentif Pajak yang Sudah Diobral Jokowi Feat Sri Mulyani
Foto: Infografis/Ini Insentif Pajak yang Sudah Diobral Jokowi Feat Sri Mulyani/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (RUU HPP) akan disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) esok hari. 

Adapun RUU KUP adalah nama baru yang diberikan untuk RUU Ketentuan Umum Perpajakan (RUU). Nama RUU ini diubah sejalan dengan pembahasannya dengan anggota dewan.

Namun, secara keseluruhan RUU ini memiliki tujuan yang sama yakni mereformasi sistem perpajakan di Indonesia. RUU ini mencakup pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPh, implementasi pajak karbon, perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai (BKC), pengampunan pajak, dan ketentuan penghapusan sanksi pidana.

Pengaturan kembali fasilitas PPN dilakukan pemerintah dengan menaikkan tarif. Berdasarkan draf RUU HPP yang diterima CNBC Indonesia, dalam Bab IV Pasal 7 dijelaskan secara rinci tarif terbaru PPN.

Untuk tahun 2022, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai menaikkan tarif PPN menjadi 11%. Ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022. Setelah berlaku sekitar dua tahun, tarif kemudian dinaikkan lagi menjadi 12%. Kenaikan PPN menjadi 12% ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Kemudian, pemerintah juga menaikan nilai lapisan penghasilan kena pajak dan menambah satu lapisan baru untuk penghasilan Rp 5 miliar ke atas. Dengan ini maka lapisan penghasilan kena pajak menjadi lima layer.

1. Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta (sebelumnya Rp 50 juta) kena tarif 5%

2. Penghasilan di atas Rp 60 juta - Rp 250 juta kena tarif 15%

3. Penghasilan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta kena tarif 25%

4. Penghasilan di atas Rp 500 juta - Rp 5 miliar kena tarif 30%

5. Penghasilan di atas Rp 5 miliar kena tarif 35%.

Pemerintah dan DPR juga menyepakati untuk menerapkan pajak karbon sebesar Rp 30 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon, dan/atau peta jalan pasar karbon.

Selain menetapkan tarif pajak baru, melalui RUU HPP ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menambah fungsi KTP. Ini untuk menguatkan sistem administrasi perpajakan di dalam negeri.

"RUU ini juga akan memperkuat reformasi administrasi perpajakan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah, melalui implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi," ujarnya melalui keterangan resmi.

Adapun penambahan fungsi NIK ini sejalan dengan rencana awal DJP yang memang ingin mengintegrasikan KTP dan NPWP.

Dari sisi cukai, lewat RUU diberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk menambahkan barang kena cukai cukup lewat Peraturan Pemerintah.

"Penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai (BKC) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara," tulis draf RUU HPP Bab VII Pasal 4.

Dalam draft RUU HPP, Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) dijelaskan apabila wajib pajak (WP) yang mengikuti Tax Amnesty Jilid II ini, maka tidak akan dikenai sanksi administratif perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak atau kurang bayar.

Ketentuan sanksi administratif perpajakan kenaikan 200% tersebut seperti yang diatur di dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Selain itu, WP yang mengikuti program Tax Amnesty Jilid juga akan bebas dari tuntutan pidana, karena informasi yang bersumber dari surat pengungkapan harta dan lampirannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.

"Data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak," seperti dikutip Pasal 6 ayat (6) BAB V RUU HPP.

Wajib Pajak yang ingin mengikuti Tax Amnesty Jilid II harus menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta dan memenuhi empat syarat tertentu.

Keempat syarat tersebut di antaranya, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), membayar pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final, menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh tahun pajak 2020.

Syarat berikutnya, WP harus mencabut permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, pengurangan atau penghapusan sanksi administratif, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.

Serta WP juga harus mencabut permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar, keberatan, pembetulan, banding, gugatan, dan/atau peninjauan kembali.

"Dalam hal WP sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan," jelas Pasal 10 ayat (2) Bab V RUU HPP.

Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan adanya Tax Amnesty Jilid II akan menurunkan kredibilitas pemerintah.

Saat Tax Amnesty pada 2016-2017 silam pemerintah membujuk wajib pajak untuk ikut tax amnesty dengan iming-iming stimulus bagi yang patuh. Di sisi lain memberikan hukuman apabila ada yang terbukti tidak patuh.

Seperti diketahui, Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak disebutkan bahwa pengampunan pajak hanya berlaku satu kali saja, dengan periode Juli 2016 hingga 31 Maret 2017.

Apabila ada perlakuan harta yang belum atau kurang diungkap mengenai harta wajib pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, maka wajib pajak dikenakan sanksi administrasi sebesar 200% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang bayar.

"Sekarang pemerintah tidak konsisten, tidak ada tindak lanjut hukuman tersebut. Mereka justru mendapatkan kesempatan kedua untuk diampuni," jelas Piter kepada CNBC Indonesia.

"Ketidakkonsistenan pemerintah ini berpotensi menurunkan kepatuhan wajib pajak di masa depan," kata Piter melanjutkan.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid juga menyayangkan adanya program Tax Amnesty Jilid II yang dituangkan dalam RUU HPP ini.

Menurut Ahmad, filosofi Tax Amnesty adalah kebijakan pengampunan pajak ketika suatu waktu banyak wajib pajak yang tidak melapor, termasuk yang tidak terdata di dalam negeri.

"Tax amnesty itu kan memang ada potensi pajak sebenarnya yang besar, tidak terlapor atau di luar negeri, berlangsung sekian lama, di monitor lama dan tidak masuk ke sistem perpajakan kita," ujar Ahmad.

"Ini agak berbeda dengan tax amnesty jilid II dan sebenarnya gak pas untuk masuk ke ranah sebagai sumber pendapatan yang menurut saya agak politik. Ini seperti masuk ke dalam wilayah untuk menyamarkan," kata Ahmad melanjutkan.

Adanya Tax Amnesty jilid II ini, kata Ahmad akan menurunkan motivasi bagi masyarakat untuk membayar pajak.

"Karena orang akan menunggu ada pemutihan dan orang akan menunda dan menunggu Tax Amnesty ini. [...] Karena orang mencari ketika tarif lebih rendah dan tidak ada denda, orang pribadi dan badan usaha akan memilih tarif yang lebih rendah. Apalagi ini tidak ada sanksi dan sebagainya," jelas Ahmad.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular