Nambah Smelter Aluminium, RI Bisa Tekan Impor Rp 12,7 T/Tahun

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
01 October 2021 17:30
Pabrik Peleburan Alumunium Inalum, Kuala Tanjung, Sumatera Utara (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)
Foto: Pabrik Peleburan Alumunium Inalum, Kuala Tanjung, Sumatera Utara (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah terus mendorong hilirisasi di sektor tambang, salah satunya bauksit. Hilirisasi bauksit ini yaitu untuk membangun pabrik pengolahan (smelter) mengolah bauksit menjadi alumina, kemudian dilanjutkan mengolah alumina menjadi aluminium.

Dengan demikian, selain memiliki nilai tambah yang besar, ini juga bisa mengurangi impor logam aluminium Indonesia yang mencapai 748 ribu ton per tahun.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pembinaan Program Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sunindyo Suryo.

Dia mengatakan, pengembangan industri fabrikasi aluminium dibutuhkan demi menekan impor logam aluminium selama ini.

"Pengembangan industri fabrikasi aluminium diperlukan untuk mengurangi nilai impor yang mencapai US$ 890 juta atau sekitar Rp 12,7 triliun pada tahun 2020," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (01/10/2021).

Menurutnya, nilai impor komoditas aluminium didominasi oleh produk dari industri fabrikasi dan manufaktur, khususnya aluminium plat/lembaran.

"Oleh karena itu, diperlukan pembangunan pabrik plat/lembaran aluminium sebagai langkah substitusi impor," lanjutnya.

Dia mengatakan, saat ini aluminium di dalam negeri hanya diproduksi oleh PT Inalum (Persero) yang memproduksi sekitar 250 ribu ton per tahun. Sementara permintaan logam aluminium nasional mencapai 1 juta ton per tahun, sehingga kekurangan pasokan harus diisi melalui impor.

Dengan kekurangan logam aluminium sekitar 748 ribu ton per tahun itu, maka menurutnya diperlukan setidaknya tambahan smelter baru dengan kapasitas 3 x 250 ribu ton aluminium per tahun. Adapun nilai investasi untuk menambah smelter baru ini menurutnya mencapai US$ 1-2 miliar.

Menurutnya, optimalisasi penggunaan produk dalam negeri harus ditingkatkan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan untuk meningkatkan pengembangan industri hilir dalam negeri.

Selain membangun smelter baru, dia juga mendorong dibangunnya sistem fabrikasi daur ulang aluminium.

"Sistem daur ulang juga harus mulai dibangun sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan," jelasnya.

Perlu diketahui, RI memiliki cadangan bauksit terbesar keenam dunia.

Berdasarkan data Booklet Bauksit 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengolah data USGS Januari 2020, jumlah cadangan bauksit Indonesia mencapai 1,2 miliar ton atau 4% dari cadangan bijih bauksit dunia yang sebesar 30,39 miliar ton.

Adapun pemilik cadangan bijih bauksit terbesar di dunia yaitu Guinea mencapai 24%, lalu Australia menguasai 20%, Vietnam 12%, Brazil 9%, dan kemudian di peringkat kelima ada Jamaika 7%.

Berdasarkan data Kementerian ESDM ini, jumlah sumber daya bijih terukur bauksit Indonesia mencapai 1,7 miliar ton dan logam bauksit 640 juta ton, sementara cadangan terbukti untuk bijih bauksit 821 juta ton dan logam bauksit 299 juta ton.

"Indonesia memiliki cadangan bauksit nomor 6 terbesar di dunia, artinya Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku bauksit dunia," tulis Booklet Bauksit 2020 tersebut.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Punya Harta Karun Bauksit, RI Impor Aluminium 748.000 Ton!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular