
Bos PLN Buka-bukaan Masih Mahalnya Listrik EBT

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) menyebut listrik yang bersumber dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masih lebih mahal jika dibandingkan dengan listrik dari energi fosil.
Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan, diperlukan konsolidasi dengan internasional, dan juga dukungan finansial untuk mengembangkan energi terbarukan di dalam negeri.
"Kita harus lakukan bersama-sama, kita harus inovasi, kalau gak seperti itu EBT masih mahal, akan berat dan beratkan APBN," ungkapnya dalam Energy Corner Road to Energy Day "Jurus RI Hadapi Tantangan Transisi Energi" CNBC Indonesia, Rabu (29/09/2021).
Dia mengatakan, diperlukan investasi yang sangat besar untuk proyek EBT, misalnya dalam 10 tahun ke depan ini dibutuhkan US$ 35 miliar atau sekitar Rp 500 triliun. Meski terbilang besar, namun menurutnya ketertarikan investasi internasional sangatlah besar.
"Ini karena kucuran investasi batu bara turun. Kami buat lelang PLTD, diesel ke EBT ramai sekali keterlibatan dunia internasional, kami sangat apresiasi itu dan inovasi bisa menjadi jalan, sehingga harganya bisa ditekan," paparnya.
Dia mengatakan, saat ini konsumsi listrik nasional sekitar 300 Tera Watt hour (TWh) dan sampai tahun 2060 akan bertambah sampai 1.800 TWh. Ada penambahan kapasitas 250 Giga Watt (GW), sehingga total kebutuhan dana mencapai US$ 600 miliar.
Begitu juga dari sisi tarif listrik. Dia menyebut, harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) misalnya, meski kini sudah turun menjadi US$ 5,8 sen per kilo Watt hour (kWh) dari 2015 lalu mencapai US$ 25 sen per kWh. Meski demikian, itu belum termasuk biaya baterai atau Energy Storage System (ESS) yang masih tinggi yakni sekitar US$ 12 sen per kWh.
Bila itu digabungkan, maka harga listrik dari PLTS ini masih mencapai belasan sen dolar per kWh, jauh lebih tinggi dibandingkan harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang masih di kisaran US$ 5-6 sen per kWh.
Namun demikian, menurutnya pengembangan EBT ini bisa menjadi kesempatan bagi bangsa Indonesia dalam membangun kapasitas nasional, khususnya dalam hal Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
"Kita kawinkan, ada perubahan iklim itu benar. Tapi dalam proses ini kami perlukan ini sebagai opportunity akselerasi pertumbuhan ekonomi. Bukan lagi penonton, tapi subjek cara pandang, cara kerja kita," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain melihat tantangan mengenai perubahan iklim, dia berpandangan jika ini juga perlu dilihat sebagai sebuah kesempatan bagi bangsa ini untuk lebih maju lagi.
"Ini ciptakan lapangan kerja, akselerasi pertumbuhan ekonomi dan bagaimana bangsa ini akan nikmati kue sebagai bangsa yang maju," imbuhnya.
Menurutnya, dalam mengejar transisi energi ini PLN tidak bisa bekerja sendiri, sehingga diperlukan juga kebijakan dari pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif.
"Bisa lakukan ini sendiri? oh ini gak bisa, ini adalah suatu policy perindustrian, bangun iklim yang kondusif untuk investasi, insentif agar investasi EBT terjadi di dalam negeri," jelasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Suntik Mati PLTU, Ini Cara RI Kurangi Penggunaan Energi Kotor