Road to CNBC Indonesia Award

Star Energy Dinobatkan Jadi The Best Renewable Company 2021

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
Rabu, 29/09/2021 18:19 WIB
Foto: Star Energy raih

Jakarta, CNBC Indonesia - Berkat perannya di energi terbarukan terutama dalam mengelola kekayaan panas bumi RI, Star Energy Geothermal Group meraih penghargaan The Best Renewable Company dalam ajang CNBC Indonesia Award 2021 The Best Energy and Mining Companies.

Penghargaan ini diterima secara virtual oleh CEO Star Energy Geothermal Group Hendra Soetjipto Tan dalam ajang The Best Energy and Mining Companies, Rabu (29/9/2021).

"Kami senang sekali dan mengucapkan terima kasih atas penghargaan The Best Renewable Energy Company 2021, penghargaan ini akan digunakan untuk memacu kinerja kami untuk memajukan perusahaan dan meningkatkan kontribusi kami untuk energi baru terbarukan," kata Hendra dalam sambutannya.


Dia menambahkan perusahaan berkomitmen untuk menjaga dan meningkatkan kinerja pembangkit listrik panas bumi yang dimiliki. Dengan begitu PLTP yang dimiliki perusahaan bisa semakin optimal dan bisa ditingkatkan kapasitasnya.

"Kami mau meningkatkan kapasitas pembangkit panas bumi di Jawa dan luar Jawa. Mudah-mudahan pada 2028 kami bisa mencapai kapasitas 1.200 megawatt," ungkapnya.

Berdasarkan kajian Tim Riset CNBC Indonesia, pada awalnya taipan Prajogo Pangestu sama sekali buta akan panas bumi dan potensinya. Namun kini, melalui PT Star Energy Geothermal-anak usaha PT Barito Pacific Tbk, pengembangan panas bumi swasta terbesar nasional berada dikendalinya.

Awalnya, Prajogo adalah pengusaha kayu dan hasil hutan, melalui PT Barito Pacific Timber Tbk. Namun, ia mulai tergerak menggarap energi panas bumi setelah mendengar potensinya yang sangat besar di Indonesia, dalam sebuah seminar.

Di seminar tersebut, barulah dia tahu "harta karun" panas bumi Indonesia-yang merupakan terbesar kedua dunia. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya panas bumi republik ini mencapai 23.965,5 megawatt (MW), mengekor Amerika Serikat (AS) yang sebanyak 30.000 MW.

Dan kebanyakan, titik panas bumi di Indonesia berada di wilayah hutan. Di sinilah insting bisnis Prajogo berdenting. Pasalnya, Barito Pacific adalah pemegang hak pengusahaan hutan seluas 5,5 juta hektar, meski kini beralih haluan menjadi perusahaan energi dan kimia.

Ironisnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia baru 2.130,7 MW (2020) atau hanya 8,9% dari sumber daya yang ada. Bila PLTB yang sedang dibangun (berkapasitas total 196 MW) tuntas tahun ini, maka kapasitas terpasang PLTP bakal menjadi 2.326,7 MW atau hanya naik ke 9,7%.

Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah yang dipatok dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) mengenai tambahan sekitar 1 MW PLTB dari 2018 ke 2021. Mengacu pada RUEN, semestinya kapasitas PLTB tahun ini adalah 2.941,5 MW.

Hal inilah yang mendorong Prajogo pada tahun 2018 mengakuisisi Star Energy, melalui Barito Pacific. Perusahaan pengembang panas bumi yang didirikan pada tahun 2003 oleh Supramo Santosa tersebut diincar karena posisinya sebagai produsen energi panas bumi terbesar nasional.

Saat itu, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang dioperasikan Star Energy menghasilkan 875 megawatt (MW), mengalahkan listrik yang dihasilkan PLTP milik PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang hanya 675 MW. Angka itu setara dengan 41% dari total kapasitas terpasang PLTP di Indonesia yang mencapai 2.130,7 MW per akhir 2020.

Kapasitas Star Energy tersebut berasal dari tiga aset panas bumi di Jawa Barat miliknya, yakni wilayah kerja penambagnan (WKP) Wayang Windu, WKP Salak, dan WKP Darajat. Hingga 2028, Star Energy menargetkan menjadi operator panas bumi berkapasitas sebesar 1.200 MW. Target ini lebih ambisius ketimbang target PGE yang menargetkan 1.100 MW.

Sukses Atasi Kendala PLTP

Sebagai penguasa terbesar PLTP, posisi Star Energy dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi krusial. Pasalnya, EBT memiliki kelemahan intermitensi, di mana produksi listriknya naik-turun mengikuti faktor alam, terutama untuk pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Dus, keduanya sulit menjadi tulang punggung(baseload) pembangkitan listrik nasional karena bakal memerlukan baterai berkapasitas gigawatt untuk menyimpan "cicilan" listriknya yang naik-turun. Keunggulan harga produksi energi mereka yang rendah pun ternisbikan.

Di antara berbagai jenis EBT, hanya dua yang berpeluang menjadi baseload yakni PLTP dan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) karena produksi listrik keduanya yang stabil. Sayangnya, pengembangan PLTP di Indonesia masih terkendala, sebagaimana dipaparkan pemerintah dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM (2020-2024).

Kesuksesan Star Energy dalam mengembangkan PLTP pun menciptakan semacam yurisprudensi bahwa kendala tersebut bisa diatasi dengan profesionalitas. Keunggulan Star Energy dalam pengelolaan PLTP terlihat dari konsistensi laba yang dihasilkan, yang tak terpengaruh pandemi.

Hingga Juni 2021, Star Energy mencetak laba tahun berjalan senilai US$ 80,7 juta, naik 4,4% dari setahun sebelumnya sebesar US$ 77,3 juta. Angka tersebut setara dengan 33,9% dari laba bersih tahun berjalan yang dibukukan Barito Pacific senilai US$ 237,8 juta.

Kini, meski menghadapi pandemi, perseroan terus melanjutkan eksplorasi proyek panas bumi di tiga titik. Pertama, di WKP Salak Binary yang diperkirakan menghasilkan tambahan listrik sebesar 15 MW. Kedua, di area baru Sekincau, Lampung Barat; dan ketiga, di WKP Hamiding, Halmahera Utara (Maluku).

 


(rah/rah)