Pemerintah Harus Bayar Kompensasi BBM Premium 2020 Rp 5,6 T
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) menjadi menjadi badan usaha yang menerima penugasan menyalurkan Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) alias BBM bersubsidi seperti Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) atau dikenal dengan produk Premium (BBM RON 88).
Meski bensin Premium tak lagi disubsidi, namun pemerintah tetap membayarkan kompensasi karena harga Premium masih ditentukan pemerintah. Bila harga jual yang ditetapkan pemerintah lebih rendah dari harga keekonomiannya, maka mau tidak mau pemerintah akan membayar kompensasi kepada Pertamina.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020 yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pemerintah harus membayar kompensasi kepada Pertamina sebesar Rp 5,6 triliun atas penyaluran BBM Solar dan Premium pada 2020.
Di dalam laporan tersebut disampaikan bahwa berdasarkan hasil review atas perhitungan dana kompensasi BBM dan listrik tahun 2020 yang disampaikan oleh BPKP melalui surat nomor:S-454/K/D4/2021 tanggal 20 April 2021 dinyatakan bahwa perhitungan kompensasi BBM tahun 2020 atas penyaluran JBT dan JBKP adalah sebesar Rp 5.589.490.147.448.
"Disepakati bahwa nilai kompensasi BBM tahun 2020 hasil asersi KPA menggunakan nilai kompensasi BBM sesuai reviu BPKP sebagaimana disampaikan melalui surat nomor: S-136/D404/2/2021 tanggal 22 Maret 2021, sebesar Rp 5.589.490.147.448," sebagaimana tertulis dalam LKPP 2020, dikutip Jumat (24/09/2021).
Menanggapi hal ini, Ekonom INDEF Abra El Talattov mengatakan, pada prinsipnya Pertamina mendapatkan kompensasi atas penjualan Premium dan penjualan ini bersifat terbuka. Artinya, siapa saja bisa mengakses.
Jika terus dibiarkan, maka diperkirakan akan terus membebani negara dan menjadi "kompensasi" tidak tepat sasaran karena dapat diakses oleh siapapun, bukan hanya kalangan tidak mampu, tapi juga kalangan mampu.
"Akan berdampak pada beban APBN di mana utang pemerintah untuk kompensasi ke Pertamina dan badan usaha terus bertambah," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (24/09/2021).
Lebih lanjut dia mengatakan, yang menjadi masalah dalam hal ini adalah utang pemerintah ke Pertamina yang tidak bisa dicairkan dengan segera, sehingga tunggakan ini bisa berdampak pada operasional kinerja badan usaha.
"Dan masalahnya, utang ini gak bisa dicairkan cepat, tunggakan kompensasi ini berdampak pada operasional kinerja dari badan usaha," tuturnya.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat, serapan Premium selama Januari sampai Juli 2021 masih sangat rendah. Selama Januari-Juli 2021, konsumsi Premium baru mencapai 2,71 juta kilo liter (kl) atau hanya 27,18% dari kuota tahun ini sebesar 10 juta kl.
Putut Andriatno, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Subholding Trading & Commerce Pertamina, mengatakan bahwa penyebab dari rendahnya serapan Premium saat ini adalah karena kesadaran masyarakat yang semakin baik pada penggunaan BBM yang berkualitas, sesuai dengan spesifikasi kendaraannya.
"Saat ini masyarakat sudah mulai sadar dan menggunakan BBM berkualitas atau BBM yang sesuai dengan spec (spesifikasi) kendaraannya," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (24/08/2021).
Di sisi lain, konsumsi Pertalite di beberapa daerah mengalami peningkatan 1-2%.
"Secara proporsi, produk di daerah-daerah yang sedang melaksanakan program edukasi (tentang manfaat BBM ramah lingkungan) naik 1% sampai dengan 2%," paparnya.
(wia)