Listrik Melimpah, Pemerintah Ogah Ikut Campur TOP PLN-Swasta

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 membuat perekonomian lesu yang berdampak pada turunnya konsumsi listrik masyarakat. Akibatnya, terdapat pasokan listrik yang melimpah (over supply) di Tanah Air.
Di tengah konsumsi listrik yang anjlok ini, PT PLN (Persero) terikat pada perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producers/ IPP), khususnya dengan pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.
Dalam PPA ini, salah satu klausul yang diatur adalah mengenai denda. PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak, atau biasa disebut skema "take or pay" (TOP).
Lantas, bagaimana peran pemerintah di kondisi seperti ini? Dengan kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak pada berlebihnya pasokan listrik, apakah pemerintah akan mengatur dan merelaksasi skema denda TOP ini?
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Ida Nurhayatin Finahari mengatakan bahwa TOP adalah skema yang dibangun oleh PLN dan IPP dan bersifat bisnis antara kedua belah pihak alias Business to Business (B to B).
"Take or pay adalah skema yang dibangun oleh PLN dengan IPP secara B to B, yang dituangkan dalam kontrak mereka," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (09/09/2021).
Lalu apakah pemerintah akan mencoba mencari solusi TOP ini?
Menurut Ida, karena sifat perjanjiannya B to B, maka PLN dan IPP lah yang akan berdiskusi dan pemerintah tidak akan ikut campur.
"Kalau B2B, PLN dan IPP yang akan berdiskusi. Pemerintah gak ikut," tegasnya saat ditanya apakah ada rencana pemerintah meminimalisasi dampak TOP.
Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Prof. Mukhtasor berpandangan jika dalam menjalankan program 35.000 Mega Watt (MW), PLN melakukan konsultasi dengan pemerintah. Pun juga masalah tarif.
"Gak mungkin kalau PLN tentukan sendiri apa bisa? Kalau lebih mahal dari PLN jual apa bisa? Nah ini memang kontrak B to B, proses jadi kontrak seperti apa," ujarnya.
Menurutnya, bagaimana pun pemerintah harus berperan di sini karena ujungnya juga terkait dengan subsidi listrik yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dia menilai, kondisi ini bisa membuat APBN boncos karena akan mengeluarkan kompensasi untuk menutup kerugian dari pemborosan ini.
Menurutnya, pemerintah mestinya tahu jika skema TOP ini membebani negara, dan mestinya pemerintah mencari jalan keluar dari skema TOP ini, bukan ditanggung PLN sendiri.
"Kalau harga lebih dari tarif yang wajar, pasti kompensasi kelebihan wajar ditanggung APBN. Artinya kewenangan negara, kewenangan pemerintah karena keluarkan duit APBN," papar Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini.
Lebih lanjut dia mengatakan, jika sudah tahu biaya kompensasi atau subsidi terus naik, mestinya pemerintah mencari cara agar APBN tidak boncos, sehingga alokasi APBN bisa dialokasikan ke hal-hal yang lebih tepat.
Sebelumnya, Direktur Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia (UI) Eko Adhi Setiawan mengatakan banyak pihak yang mengusulkan agar skema TOP ini dikendalikan, karena dalam hal ini IPP sudah untung. Skema TOP menurutnya perlu ditinjau kembali agar tidak memberatkan PLN.
"Ini susah sekali, ini banyak hantunya, gede-gede dan tokoh-tokoh nasional juga," paparnya dalam webinar yang diadakan IESR, Selasa (31/08/2021).
Dia mengatakan, isu TOP ini bukan hanya berkaitan dengan PLN dan pengembang PLTU swasta, tapi juga bisa menyangkut masa depan energi baru terbarukan Indonesia.
Pasalnya, bila skema TOP ini terus menghantui PLN, maka akan sulit bagi PLN untuk menerima pasokan listrik dari sumber lainnya, termasuk dari sisi energi terbarukan.
[Gambas:Video CNBC]
Waduh! Gara-gara Skema TOP Listrik Ini, APBN Tekor Terus
(wia)