Ada Kota Baru 'Raksasa', Jakarta Bisa Tambah Banjir?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah kota baru "raksasa" sedang dibangun di kawasan pantai utara Kabupaten Tangerang, Banten. Kota ini merupakan bagian dari PIK 2 yang lokasinya di kawasan Kosambi. Lantas, apakah pengembangan kota baru ini akan membuat potensi banjir Jakarta semakin besar?
Rencananya pengembangan kota baru PIK 2 akan membentang di pesisir Pantura Tangerang sejauh 51 km, dari Cituis (Pakuhaji), Tanjung Pasir (Teluk Naga), Tanjung Kait (Mauk), hingga Kronjo.
Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna, mengatakan potensi Jakarta terendam banjir tetap ada, walaupun pemetaanya masih perlu dilakukan kajian yang lebih lanjut. Karena ada kemungkinan ada daerah-daerah baru yang menjadi banjir.
"Sebagian wilayah daratan di pesisir itu adalah parkir air. Begini kalau ada muara sungai dan laut menunggu sampai laut surut, ketika surut mereka masuk ke laut. Makanya kota baru di pesisir ini harus memperhatikan ruang air. Karena kalau tidak diperhatikan air akan lari ke mana?," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Senin (6/9/2021).
"PIK-nya mungkin aman, mereka akan menguruk dan meninggikan batas muka pasang air atau laut. Tapi jika ditinggikan, air akan mencari tempat lain. Itu harus dipetakan potensi kemungkinan parkir air pindah ke tempat lain. Kota baru mungkin aman tapi wilayah sekitarnya tidak tahu," tambahnya.
Selain itu, dalam pengembangan wilayah kota baru, harus menggunakan sistem polder atau sistem penanganan banjir rob di wilayah perkotaan. Meliputi sistem drainase kawasan, kolam retensi, tanggul keliling kawasan, pompa dan pintu air.
Manajemen tata air ini untuk mengendalikan volume air supaya tidak terjadi banjir. Menurut Yayat, sistem polder ini sebagai penampung air sekitar kawasan kota baru jika volume air berlebih akan dipompa dibuang ke wilayah lain seperti laut.
"PIK yang lama saya lihat seperti itu, apa yang sekarang menggunakan hal yang sama atau tidak. Kajiannya harus melalui (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) KLHS. Jadi harus dipetakan. Apakah potensi pasang laut akan terjadi sebagai pengaruh dari ekosistem global?," jelasnya.
Yayat juga mengonfirmasi potensi penurunan muka tanah akibat adanya pengembangan kota baru, karena berkaitan dengan eksploitasi air baku. Walaupun sampai saat ini dia belum mengetahui berapa data yang digunakan pengembang kawasan itu dalam pengambilan air tanah.
"Kita tidak tahu. Tidak pernah terbuka penggunaan air baku. Yang jelas untuk kawasan itu intrusi air di situ sudah campuran atau payau sehingga tidak bisa dikonsumsi. Kita harus tahu air bakunya dari mana, gak mungkin recycling atau salinitas menjadi air tawar, karena biayanya tinggi," kata Yayat.
"Kita harus terbuka ambil air tanah berapa, mungkin untuk tapi ada pengaruhnya ke tempat lain yang buntung. Jadi mari terbuka," lanjutnya.
(miq/miq)