
Urusan Penghapusan BBM Premium Gak Kelar-Kelar, Kenapa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) untuk jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 88 atau Premium sudah lama dibahas. Namun nyatanya sampai saat ini bensin Premium ini masih tetap dijual di pasaran.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, untuk menghapus Premium kuncinya ada di dalam konsistensi pemerintah. Konsumsi energi menurut teorinya seperti air mengalir ke tempat rendah. Artinya, selama di pasar masih ada yang murah, maka masyarakat akan membelinya.
"Masyarakat yang belum teredukasi, apalagi aspek lingkungan belum jadi perhatian utama, akan pilih yang lebih murah di pasaran. Selama Premium disediakan, akan ke sana," paparnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (06/09/2021).
Dia menjelaskan, pemerintah pernah menerbitkan Perpres No.191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Pihaknya menyambut baik dikeluarkannya Perpres ini, karena pemerintah berencana mengurangi bensin Premium secara bertahap.
Hal ini menurutnya sejalan dengan rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi atau dikenal dengan Tim Anti Mafia Migas yang dibentuk pada 2014. Seperti diketahui, pada awal Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Presiden RI, melalui Surat Keputusan Menteri ESDM yang saat itu dijabat oleh Sudirman Said membentuk tim ini, tepatnya November 2014.
Dipimpin oleh Faisal Basri, tim ini diminta untuk melakukan audit tata kelola migas nasional, termasuk terkait impor BBM yang terus membebani negara.
"Di tahun 2015 disampaikan, direkomendasikan bahwa ini (Premium) harus dihapus secara bertahap. Pertamina sebagai pelaksana dan pemerintah berkomitmen butuh waktu 2 tahun sejak direkomendasikan, sehingga ekspektasinya 2016-2017 selesai," lanjutnya.
Namun dalam perjalanannya, Perpres 191 tahun 2014 ini direvisi ke Perpres 43 tahun 2018, di mana dalam Perpres baru diberikan pelonggaran. Di dalam Perpres 191 tahun 2014 Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) tidak diizinkan menjual Premium. Bensin Premium hanya boleh dijual di luar kawasan tersebut.
"Tapi dengan Perpres 43 tahun 2018, wilayah Jamali dilonggarkan, bisa akses kembali (Premium), meski ada catatan setelah koordinasi dengan Kemenko Perekonomian," jelasnya.
Lebih lanjut dia menegaskan, dari aspek regulasi mestinya pemerintah lebih kuat. Dampak dari adanya pelonggaran pada 2018 ini menurutnya bisa terbaca dalam realisasi konsumsi bensin Premium. Pada 2018 realisasi konsumsi bensin Premium naik kembali pasca revisi Permen.
Berdasarkan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), serapan Premium tahun 2016 mencapai 10,62 juta kilo liter (kl). Lalu pada 2017 turun drastis menjadi 6,99 juta kl. Namun pada 2018 kembali naik menjadi 9,14 juta kl, dan tahun 2019 kembali naik - bahkan di atas tahun 2016 - menjadi 11,60 juta kl.
"Pelonggaran 2018 datanya kebaca ini, tahun 2018 setelah revisi (Perpres), (konsumsi Premium) naik lagi. Di 2021 serapan sedikit ada beberapa faktor, karena pandemi juga, Program Langit Biru teman-teman Pertamina diskon harga khusus di beberapa titik," ungkapnya.
"Jadi, ini semua karena pemerintah nggak konsisten. Perlu disadari pemerintah, untuk mengaplikasikan kebijakan harus konsisten," tandasnya.
Berdasarkan data yang dipaparkan BPH Migas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin (23/08/2021), realisasi serapan Premium selama Januari-Juli 2021 baru mencapai 2,71 juta kilo liter (kl) atau hanya 27,18% dari kuota tahun ini sebesar 10 juta kl.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menteri ESDM Akui Bensin Premium Dihapus Pelan-Pelan