
Jangan Kaget! Lainnya Rebutan Harta Rare Earth, AS Batu Bara

Studi sejak tahun 1800-an membuktikan bahwa batu bara dan limbahnya, terutama abu batu bara (coal ash), mengandung logam tanah jarang. V. M. Goldhschmidt, dosen minerologi di Universitas Gottingen Jerman dalam laporan berjudul "Rare Elements in Coal Ashes" (1935) menyebutkan kandungan tanah jarang di batu bara telah ditemukan sejak tahun 1885.
Dengan penelitian lebih lanjut, terungkap bahwa abu batu bara mengandung 30-an mineral kritis dan tanah jarang: Beryllium, Strontium, Barium, Scandium, Molybdenum, Lanthanum, Kobalt, Zirconium, Vanadium, Uranium, Gallium, Germanium, Arsenic, Antimony, Cadmium, Tellurium, Rhodium, Palladium, Thorium, Indium, Thallium, Selenium, Yttrium, dan Krom.
Namun saat itu tanah jarang tak banyak dipakai dalam industri. Baru di era komputer (awal tahun 2000-an) barulah tanah jarang diburu. Penelitian selanjutnya berjudul "Environmental Review of Coal Ash as A Resource for Rare Earth and Strategic Elements"(2013) menemukan bahwa kandungan tanah jarang di setiap 1 kilogram batu bara bisa mencapai 8,4 gram.
Dengan memeluk kembali batu bara sebagai realitas tak tergantikan dalam ekonomi, Biden mengirimkan dua sinyal ke dunia. Pertama, AS dalam posisi terjepit untuk memaksimalkan potensi tanah jarang yang kini telah dikuasai China. Kedua, batu bara masih bisa dimanfaatkan dengan tanpa mengorbankan proyek emisi nol-bersih (net zero emission).
Pejabat AS mengonfirmasi itu, seperti Senator Mitt Romney. "Posisi China yang nyaris memonopoli logam tanah jarang membuat masyarakat dunia lainnya bergantung pada mereka. Dengan pendanaan ini, Utah akan terus memainkan peran vital di produksi logam tanah jarang dan mineral kritis di AS," tuturnya dalam siaran pers di situs Kementerian Energi AS.
Segendang sepenarian, Menteri Energi AS Jennifer M. Granholm menyatakan bahwa bahan bakar fosil yang telah mengalirkan energi ke AS selama puluhan tahun tersebut bisa menjadi garda depan menuju ekonomi berbasis energi bersih melalui ekstraksi mineral kritis di dalamnya.
"Dengan membangun produk energi bersih di sini, kita mengamankan rantai pasokan solusi inovatif yang dibutuhkan untuk mencapai emisi karbon nol-bersih pada tahun 2050 - semuanya dilakukan sembari menciptakan pekerjaan bergaji layak di seluruh penjuru Amerika," tuturnya.
Harap dicatat, ketika AS memanfaatkan batu bara bukan berarti mereka membakarnya begitu saja seperti yang dilakukan di masa lalu. Namun lebih dari itu, mereka mengembangkan energi fosil tersebut menjadi lebih bersih dengan kadar emisi nyaris nol, dan limbahnya diolah untuk menghasilkan tanah jarang yang vital bagi industri energi terbarukan.
Untuk itu, Departemen Energi AS menyalurkan dana US$ 19 juta untuk membiayai 13 proyek produksi elemen tanah jarang dan mineral penting di komunitas penghasil batu bara tradisional di seluruh AS, yang hasilnya akan diserap oleh industri pembuatan baterai, magnet, dan komponen lain ekonomi energi bersih.
Hal inilah yang perlu didorong di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan abu batu bara dari kategori limbah beracun (B3) dan mendorong penggunaan teknologi batu bara bersih di PLTU. Kini saatnya perusahaan batu bara memproduksi "emas" dengan mengolah limbah mereka.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)[Gambas:Video CNBC]