
Jangan Kaget! Lainnya Rebutan Harta Rare Earth, AS Batu Bara

Di antara sedikit negara yang memaksimalkan ekstraksi tanah jarang untuk revolusi teknologi, China adalah salah satunya. China saat ini merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia, pasar terbesar dunia, dan sedang agresif mengembangkan teknologi mutakhir.
Sejak 2015, China secara resmi telah menyatakan ambisinya untuk memiliki posisi kuat di dunia dalam rantai pasokan (supply chain) produk Revolusi Industri 4.0 di tingkat global. Hal ini telah menjadi visi Perdana Menteri China Li Keqiang dalam semboyan "Made in China 2025."
Sektor yang disasar terutama teknologi informasi, robotik, energi terbarukan, mobil ramah lingkungan, peralatan kedirgantaraan, perkapalan, perkeretaapian, dan kelistrikan. Semuanya berbasis internet segalarupa (internet of things/IoT) atau kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI) yang mensyaratkan adanya otak yang ditanam di mesin, yakni chip.
Jika berbicara chip, maka tanah jaranglah bahan bakunya. Tidak heran, mereka rakus membangun proyek pemurnian logam kritis dan tanah jarang di seluruh dunia. Saat ini, menurut data IEA, Negeri Panda menguasai nyaris 90% fasilitas pemurnian tanah jarang di dunia, 70% fasilitas pemurnian lithium dan kobalt, serta 35% fasilitas pemurnian nikel dunia.
![]() |
Di tengah situasi demikian, tidak heran Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memasukkan batu bara ke dalam opsi pengembangan tanah jarang. Pada akhir Maret 2021 lalu, Biden mengusulkan anggaran US$ 250 miliar (Rp3.576 triliun) untuk menggenjot infrastruktur, inovasi, dan pembukaan lapangan kerja di AS.
Sebanyak US$ 180 miliar di antaranya ditujukan untuk riset pengembangan teknologi masa depan. Di proyek tersebut, Gedung Putih membentuk entitas baru di bawah Departemen Energi, yakni Advanced Research Projects Agency-Climate (ARPA-C). Salah satu riset yang digawangi adalah pemanfaatan batu bara dan limbahnya sebagai sumber tanah jarang.
"Amerika kembali bertindak nyata dalam kebijakan iklim dan memohon dukungan atas peluang pendanaan baru bagi teknologi-teknologi mulai dari penangkap karbon, hingga energi panas bumi, dan mengekstraksi mineral kritis dari limbah batu bara," demikian tulis Departemen Energi AS dalam dokumen laporan kepada Kongres pada Mei lalu.
Ya, sekali lagi anda tidak salah dengar: batu bara, limbahnya pula. Berbagai riset di AS telah membuktikan bahwa, batu hitam ini kaya akan kandungan tanah jarang, bahkan hingga di limbahnya. Yang perlu dilakukan hanyalah mengekstraksi atau memurnikannya saja.
Fakta bahwa AS di bawah Biden kembali melirik batu bara ini menarik, karena sebelumnya dia dalam kampanyenya selalu memposisikan diri melawan Trump yang pro-batu bara, dan memilih mendorong percepatan transisi menuju energi terbarukan guna mencapai Kesepakatan Paris.
(ags/ags)