Pengusaha Ramai-Ramai 'Keroyok' DPR, Tolak Rencana Pajak Baru

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
24 August 2021 20:38
Proses Pemilahan Sampah di TPST Bantargebang, selanjutnya akan digunakan sebagai bahan bakar alternatif di PT Solusi Bangun Indonesia, Pabrik Narogong Jawa Barat.  (dok. Semen Indonesia)
Foto: Proses Pemilahan Sampah di TPST Bantargebang, selanjutnya akan digunakan sebagai bahan bakar alternatif di PT Solusi Bangun Indonesia, Pabrik Narogong Jawa Barat. (dok. Semen Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) hari ini melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para pelaku usaha dan asosiasi di tanah air. Hal ini terkait dengan revisi Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Rapat ini, yang dipimpin oleh fokus pembahasan yang dilakukan ada dua klaster yakni pajak karbon dan cukai terutama cukai plastik.

Dalam rapat ini, para pelaku usaha dan asosiasi fokus pada penetapan pajak karbon yang tertuang dalam revisi RUU KUP. Penetapan ini dinilai tidak tepat sehingga ramai-ramai menolak untuk diberlakukan, bahkan diminta dikeluarkan dari RUU KUP.

Pengusaha ramai-ramai menolak dan meminta pajak karbon dihapuskan dari RUU KUP dan meminta pemerintah terlebih dahulu untuk membuat peta jalan energi yang holistik dan komperhensif.

Serta meminta pemerintah untuk melibatkan pemangku kepentingan termasuk pelaku industri dalam upaya menurunkan emisi energi, dan juga mempertimbangkan skema perdagangan karbon sebagai alternatif pengurangan emisi karbon.

"Jika melihat dampak dari sisi daya saing dan daya beli, kami memohon kepada komisi XI untuk tidak memasukkan tax carbon di dalam RUU KUP," ujar Ketua Umum Inaplas Edi Rivai dalam rapat yang sama.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto juga menyampaikan dua poin yang menjadi pertimbangan pihaknya mengapa menolak pajak karbon diterapkan.

Pertama, karena akan mengancam daya saing industri keramik. Apalagi industri keramik saat ini digempur oleh produk impor. Dimana pada semester I-2021 impor keramik dari China, India dan Vietnam melonjak hingga 61% dibandingkan tahun sebelumnya.

Kedua, penerapan pajak karbon akan menyebabkan kenaikan biaya produksi, sehingga akan membebani pelanggan. Dengan demikian, pelanggan akan kabur dan lebih memilih produk dengan harga yang lebih murah seperti impor.

"Di tengah kondisi lemahnya daya beli masyarakat dan murahnya produk impor akan membuat industri keramik semakin terperosok," tegasnya.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pengumuman! Pajak Karbon Ditunda Sampai Juli 2022

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular