
Terkuak! Ini Biang Kerok Bikin Kasus Covid Malaysia 'Meledak'

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah kabar baik adanya Perdana Menteri baru, yakni Ismail Sabri Yaakob, pada Sabtu kemarin (21/8), kabar kurang baik masih menghampiri Negeri Jiran ini.
Malaysia kembali mencatatkan 'ledakan' kasus Covid-19. Pada Sabtu kemarin (21/8/2021), Kementerian Kesehatan Malaysia mencatat ada tambahan 22.262 kasus baru Covid-19. Dengan begitu, total kasus Covid-19 yang tercatat di Malaysia mencapai 1.535.286 kasus.
Kenaikan kasus ini terjadi saat Malaysia resmi memiliki Perdana Menteri baru, Ismail Sabri Yaakob. Ismail baru saja dilantik Sabtu kemarin dan mengambil sumpah jabatan di hadapan Raja Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah di Istana nasional. Pelantikan ini mengakhiri hampir seminggu kekacauan politik di Putrajaya.
![]() Pelantikan PM Malaysia Ismail Sabri Yaakob. Khirul Nizam Zanil/Malaysia’s Department of Information via AP) |
Ismail merupakan Perdana Menteri ke-9, setelah Perdana Menteri sebelumnya Muhyiddin Yasin mengundurkan diri pada Senin (16/08/2021).
Sebelumnya, dalam 3 hari berturut-turut, Malaysia mencatat kenaikan kasus infeksi Covid-19 yang cukup signifikan. Kasus bertambah 23.564 orang per Jumat (20/8/2021). Jumlah ini naik dari kasus Kamis (22.948 kasus) dan Rabu (22.242 kasus).
Berdasarkan catatan Kemenkes Malaysia, dikutip dari @KKMPutrajaya, wilayah yang mencatatkan kasus terbanyak yakni Selangor 7.011 orang, Sabah 2.651, Serawak 1.964 orang, dan kedah 1.880 orang.
Mengingat kasus Covid-19 di Malaysia masih tinggi dalam beberapa hari ini, Raja pun menitip pesan kepada pemerintahan baru untuk segera melanjutkan upaya untuk memerangi Covid-19, seperti dikutip dari CNA (Channel News Asia), Sabtu (21/08/2021).
NEXT: Apa saja Biang Keroknya?
Berdasarkan analisis James Chai, analis politik yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam kolom opininya di Al-jazeera, dilansir CNBC Indonesia, Minggu ini (22/8), infeksi harian dan jumlah kematian per kapita di Malaysia memang melampaui puncak yang terjadi di India.
Opini Chai itu dipublikasikan di media asal Timur Tengah tersebut pada 3 Agustus lalu berjudul "Malaysia: From COVID role model to a mini-India".
Pada akhir Juli lalu, kasus harian Malaysia per juta orang mencapai 515,9 dan kematian harian per juta berada di 4,95. Sebaliknya, pada puncaknya, India mencapai 283,50 kasus dan 3,04 kematian. Negara ini juga memiliki kasus per sejuta kasus tertinggi di Asia, dan salah satu per juta kematian tertinggi di Asia Tenggara.
Fasilitas-fasilitas kesehatan Malaysia terpaksa merawat pasien di tempat parkir menggunakan kasur kanvas sementara, para pasien harus memakai oksigen bergantian, dan bahkan di beberapa fasilitas kesehatan, aksi penyelamatan darurat terpaksa di lakukan di atas lantai, akibat tempat tidur yang tidak tersedia baik di UGD maupun ICU.
Para nakes juga mengatakan, banyak keluarga yang terpaksa mendapatkan rawatan di rumah sakit, dan banyak di antaranya meninggal dunia di waktu yang bersamaan.
Akibat kematian yang terus bertambah ini, fasilitas kesehatan Malaysia juga kewalahan mengurus jenazah pasien Covid 19 sehingga jenazah terpaksa di letakkan di atas trolley dan di angkut bersamaan ke tempat pengebumian.
"Setahun yang lalu, Malaysia merayakan diri sebagai negara dengan transmisi lokal Covid-19 mencapai nol selama beberapa hari, meraih banyak pujian dari para ahli asing, akademisi, dan organisasi seperti WHO," katanya.
"Tindakan cepat pemerintah Malaysia untuk menerapkan penguncian skala penuh, berinvestasi dalam pengujian dan fasilitas medis, dan menyebarkan komunikasi proaktif dengan publik menghasilkan lebih sedikit kasus daripada di seluruh Asia Tenggara," jelas Chai.
Tetapi keberhasilan negara itu, tegas Chai, juga merupakan kutukan lantaran pemerintah Malaysia cepat berpuas diri.
Menurut dia, Malaysia terlalu cepat untuk memberi selamat kepada diri sendiri karena telah berhasil menahan virus tersebut. Sebab itu, pada Agustus 2020, Malaysia memutuskan untuk mengadakan pemilihan umum di seluruh wilayah, termasuk di wilayah bagian termiskin Malaysia, Sabah.
Selama masa kampanye, maskapai penerbangan meningkatkan frekuensi penerbangan untuk mengangkut politisi dan pendukung masuk dan keluar wilayah.
Peneliti dari National University of Singapore menemukan bahwa pemilu Sabah menyumbang 70% kasus di negara bagian itu sendiri dan setidaknya 64% di wilayah lain.
Pada Januari 2021, para profesional medis menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri (PM) Malaysia saat itu Muhyiddin Yassin tentang bencana yang akan datang di rumah sakit jika penularannya tidak dikendalikan, tapi pemerintah minim aksi.
Selain berpuas diri, kedaruratan kesehatan tahun 2021 di Malaysia juga terjadi lantaran tidak adanya kesatuan rantai komando di pemerintahan Muhyiddin.
Kabinetnya terdiri dari menteri-menteri dari berbagai partai yang merupakan saingan politik dan oleh karena itu, tidak dapat dipercaya dan tidak kooperatif dalam kerja kolektif mereka.
Pertengkaran publik antara faksi yang berbeda dari partai perdana menteri yakni Partai Pribumi Bersatu Malaysia (Bersatu), dan Partai Organisasi Persatuan Melayu Nasional (UMNO), partai terbesar di pemerintahan, telah menghasilkan keputusan yang kontradiktif dan kebijakan yang membingungkan.
UMNO pun 'menarik diri' dari koalisi lantaran PM Muhyiddin Yassin dianggap gagal menangani pandemi.
Pada Mei lalu, ketika krisis kesehatan semakin cepat, Zahid Hamidi, Presiden UMNO, meminta publik untuk tidak mengaitkan kegagalan Muhyiddin dengan partainya, meskipun UMNO menjadi anggota pemerintah koalisi.
"Memang benar bahwa [kami] adalah bagian dari [koalisi pemerintah] ... [tetapi] sebagian besar pandangan dan saran kami tentang Covid-19 tidak mendapat banyak perhatian," katanya.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap krisis Covid-19 yang masif adalah legitimasi pemerintah yang semakin berkurang, yang mengakibatkan rendahnya kepatuhan publik terhadap langkah-langkah antipandemi.
Alih-alih bertindak sebagai panutan, para menteri dan pejabat terpilih malah secara konsisten melanggar aturan Covid-19, sehingga menimbulkan klaim standar ganda.
Para menteri dibebaskan dari masa karantina wajib 14 hari setelah kembali dari luar negeri, sementara anggota parlemen diizinkan bepergian ke luar negeri dengan bebas.
Ada laporan tentang pejabat yang tidak mematuhi pembatasan penguncian, termasuk menteri yang makan di restoran ketika tidak diizinkan.
Ketika mereka tertangkap melanggar langkah-langkah anti-pandemi, hukumannya jauh lebih ringan daripada yang akan dihadapi orang Malaysia biasa.
Insiden-insiden ini telah menyulut kemarahan publik yang semakin besar, yang telah membuat banyak orang Malaysia enggan mematuhi aturan Covid-19.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PM Malaysia Muhyiddin Mundur dari Jabatan, Ada Apa?
