Jakarta, CNBC Indonesia - Belum lama ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Joseph 'Joe' Biden mendeklarasikan kemerdekaan negaranya dari penjajahan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Sekarang, sepertinya Biden perlu menarik kembali kata-katanya.
"Jika kita melakukan ini bersama-sama, pada 4 Juli (Hari Kemerdekaan AS), maka ada harapan Anda, keluarga, dan kawan-kawan bisa merayakan di halaman dengan memanggang barbeku. Setelah setahun yang sangat berat, kita akan merayakan Hari Kemerdekaan yang spesial. Tidak hanya merayakan kemerdekaan bangsa, tetapi juga kemerdekaan dari virus," tegas Biden dalam sebuah pidato pada Juli lalu.
Baca: Biden Gelar Pesta, AS Deklarasikan Menang Lawan Corona
Biden tidak sepenuhnya salah. Negeri Paman Sam sempat berhasil mengendalikan pandemi pada Juni 2021 lalu.
Pada 2 Juni 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pasien positif corona di AS 'hanya' bertambah 3.678 orang dalam sehari. Ini adalah tambahan kasus positif terendah sejak 19 Maret 2020.
Akan tetapi, peta permainan langsung berubah dengan kehadiran virus corona varian delta. Varian ini lebih menular dibandingkan sebelumnya, yang membuat virus sangat mudah menyebar.
Ditemukan kali pertama di India, virus corona varian delta menyebar ke lebih dari 100 negara. AS pun ikut kebobolan.
Pada 18 Agustus 2021, pasien positif corona di AS bertambah 113.803 orang dalam sehari. Dibandingkan dengan posisi terendah 2 Juni 2021 lalu, terjadi peningkatan 2.994,15% atau nyaris 3.000%. Wow...
Halaman Selanjutnya --> Corona Menggila, AS Belum Pikirkan Lockdown
Perkembangan ini membuat berbagai pihak khawatir, tidak terkecuali bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Dalam notula rapat (minutes of meeting) edisi Juli 2021, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega menyebut penyebaran virus corona varian delta adalah risiko yang nyata bagi perekonomian Negeri Adikuasa. Virus corona varian delta bisa membuat pembukaan kembali aktivitas dan mobilitas masyarakat (reopening) tertunda sehingga memperlambat proses pemulihan ekonomi.
"Penyebaran virus corona varian delta akan menunda reopening dan membatasi penciptaan lapangan kerja" sebut notula rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC).
Meski demikian, Penasihat Kesehatan Presiden AS Anthony 'Tony' Fauci menegaskan pemerintah belum mempertimbangkan opsi karantina wilayah (lockdown) seperti tahun lalu. Menurut Fauci, populasi warga AS yang sudah divaksin membuat kebijakan lockdown belum perlu diterapkan.
"(Jumlah penduduk yang divaksin) memang belum cukup untuk mencegah penyebatran. Namun saya yakin ini sudah cukup untuk membuat kita bisa menghindari situasi seperti tahun lalu (lockdown)," tegas Fauci dalam wawancara bersama ABC, seperti dikutip dari Reuters.
Mengutip catatan Our World in Data, jumlah penduduk AS yang sudah mendapatkan vaksin anti-virus corona dosis penuh per 17 Agustus 2021 adalah 168,9 juta orang. Di sini, AS menempati peringkat pertama.
 Sumber: Our World in Data |
Namun, dengan AS adalah negara berpenduduk ketiga terbanyak dunia dengan populasi lebih dari 330 juta jiwa. Jadi walau sudah memberikan vaksin dosis penuh kepada hampir 169 juta orang, jumlah itu baru 50,5% dari total populasi.
Target vaksinasi adalah untuk mencapai kekebalan kolektif (herd immunity). Itu bisa dicapai apabila mayoritas penduduk sudah mendapatkan vaksin, porsinya 60-70%. So, AS memang belum bisa dibilang sudah mencapai herd immunity.
 Sumber: Our World in Data |
TIM RISET CNBC INDONESIA