Nggak Habis-habis! Ilmuwan Teliti Corona Varian Selain Delta

Redaksi CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
09 August 2021 09:30
Infografis/Varian Mutasi virus dari inggris, india dan afrika Selatan, Sudah Sampai Indonesia/Aristya Rahadian
Foto: Infografis/Varian Mutasi virus dari inggris, india dan afrika Selatan, Sudah Sampai Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Penyebaran virus SARS-CoV-2 telah melahirkan nama-nama varian dari alfabet Yunani. Sistem penamaan itu digunakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melacak mutasi baru virus penyebab COVID-19.

Beberapa varian memiliki sifat yang lebih unggul dalam menulari manusia atau menembus perlindungan vaksin.

Melansir detik.com, Senin (9/8/2021), saat ini, para ilmuwan masih terfokus pada Delta, varian dominan yang sedang menyebar cepat di seluruh dunia. Namun, mereka juga meneliti kemungkinan varian-varian lain dapat menggantikan posisi Delta di kemudian hari.

Delta yang pertama kali terdeteksi di India masih menjadi varian yang paling mengkhawatirkan. Varian ini menyerang populasi yang tidak divaksin di banyak negara dan terbukti mampu menginfeksi sebagian orang yang telah menerima vaksin ketimbang varian pendahulunya.

WHO memasukkan Delta dalam daftar variant of concern (VOC) karena telah menunjukkan kemampuan menular dengan cepat. Varian ini bahkan menyebabkan penyakit yang lebih parah atau mengurangi efektivitas vaksin dan pengobatan COVID-19.

Menurut Shane Crotty, pakar virus di Institut Imunologi La Jolla di San Diego, AS, "kemampuan super" Delta adalah transmisinya.

Peneliti China menemukan orang-orang yang terinfeksi Delta membawa virus 1.260 kali lebih banyak di hidung mereka daripada varian asli virus corona.

Beberapa penelitian di AS menunjukkan "muatan virus" pada orang-orang yang sudah divaksin lalu terinfeksi oleh Delta setara dengan mereka yang tidak divaksin. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperkuat hal itu.

Sementara varian asli perlu waktu hingga tujuh hari untuk menimbulkan gejala, varian Delta mampu dua-tiga hari lebih cepat, memberi waktu lebih sedikit bagi sistem kekebalan tubuh untuk merespons dan membuat pertahanan.

Delta tampaknya juga terus bermutasi dengan kemunculan varian "Delta Plus", sub garis keturunan dengan mutasi tambahan yang telah menunjukkan kemampuan untuk menghindari proteksi kekebalan.

India memasukkan Delta Plus sebagai VOC pada Juni, namun Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) dan WHO belum melakukan hal yang sama.

Menurut Outbreak.info, pangkalan data COVID-19 open-source, Delta Plus telah terdeteksi di 32 negara.

Para ahli mengatakan belum ada kejelasan apakah varian itu lebih berbahaya.

Selain varian Delta, ada pula varian Lambda yang juga masuk dalam VOI WHO. Namun, ternyata para peneliti kembali melakukan pelacakan apakah ada mutasi baru Covid-19.

Dr Anthony Fauci, kepala penasihat medis Gedung Putih, baru-baru ini memperingatkan bahwa AS bisa berada dalam masalah kecuali lebih banyak orang Amerika yang divaksin.

Jika banyak orang yang tidak divaksin, virus mendapatkan kesempatan lebih besar untuk menyebar dan bermutasi menjadi varian baru.

Meski demikian, Ilmuwan vaksin di Mayo Clinic, Dr Gregory Poland, mengatakan isu pentingnya adalah vaksin yang ada saat ini mencegah sakit lebih serius tapi tidak menghindari infeksi.

Hal itu terjadi karena virus masih dapat memperbanyak diri di hidung, bahkan di antara orang-orang yang sudah divaksin, sehingga bisa menularkan penyakit melalui tetesan aerosol yang amat kecil.

Untuk mengalahkan virus SARS-CoV-2, kata dia, diperlukan generasi baru vaksin yang juga mampu menahan transmisi virus.

Hingga kini, dunia masih rentan dengan kemunculan varian-varian baru virus corona , kata Poland dan pakar lainnya.


(cha/cha)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kapan Pandemi Covid-19 RI Menuju Endgame? Ini Ramalan Terbaru

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular