Daftar Produk RI yang Bikin Resah Negara Lain, Sampai 'Ribut'

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
30 July 2021 18:45
Konsumsi Baja
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Produk Indonesia ternyata banyak mengancam sejumlah negara karena dikhawatirkan bakal mengganggu dominasi produk negara asal. Bukan hanya mendominasi, komoditas asal Indonesia juga membuat banyak negara ketergantungan.

Akibatnya, Indonesia beberapa kali harus bersinggungan dengan sejumlah negara akibat adanya konflik kepentingan bisnis.

Berikut beberapa kasus yang tengah dan telah dihadapi Indonesia, terkait sengketa perdagangan maupun proteksi perdagangan dengan negara lain maupun di WTO:

Kelapa Sawit RI Dihambat Uni Eropa

Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi kelapa sawit sebanyak 36.000.000 metrik ton pada tahun 2016. Sekitar 25,1 juta tonnya diekspor ke luar negeri.

Namun, tingginya produksi itu berarti Indonesia juga memiliki lahan pertanian kelapa sawit yang sangat luas. Bahkan, terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika isu deforestasi (pembukaan hutan) tidak bisa dipisahkan dari industri kelapa sawit.

Mengutip laporan Time Toast, pada 1 Januari 2007 organisasi PBB mengatakan produksi minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi di Indonesia, di mana pembalakan liar dan penanaman kelapa sawit lazim terjadi di 37 dari 41 taman nasional.

Akibat hal itu, pada April 2017 Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghapuskan dan melarang penggunaan bahan bakar hayati (biofuel) yang terbuat dari minyak sawit. Menurut laporan The Conversation, larangan itu dapat mengurangi permintaan minyak sawit.

Eropa juga menerbitkan Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II). Dimana kelapa sawit dianggap sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau indirect land-use change (ILUC).

Indonesia melawan dan siap menggugat Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia. Gugatan sengketa Pemerintah RI terhadap regulasi Renewable Energy Directive II (RED II) Uni Eropa di forum DSB WTO (sengketa DS 593) terus bergulir.

RI dan Uni Ribut Soal Larangan Ekspor Nikel

Produk Indonesia lain yang membuat Uni Eropa ketergantungan adalah nikel. Selama bertahun-tahun, Indonesia mengirim bijih nikel ke Uni Eropa. Namun, RI mengubah kebijakan dengan melarang ekspor bijih nikel dan lebih memilih untuk hilirisasi dalam negeri.

Namun, Uni Eropa tidak terima dan mengajukan tuntutan terhadap Indonesia sengketa DS 592 - Measures Relating to Raw Materials ke WTO. UE menganggap Undang-Undang RI tentang Minerba menyulitkan untuk bisa kompetitif dalam industri baja, terutama stainless steel karena nikel dipakai sebagai bahan baku stainless steel.

Padahal, komoditas nikel yang diimpor Eropa kecil sekali dari Indonesia dan Uni eropa anggap mengganggu produktivitas energi stainless steel. UE juga menganggap ini bagian dari 30 ribu pekerja langsung dan 200 ribu pekerja tidak langsung,

"Pemerintah Indonesia telah siap untuk memperjuangkan dan melakukan upaya pembelaan terhadap gugatan UE. Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan berkeyakinan, kebijakan dan langkah yang ditempuh Indonesia saat ini telah konsisten dengan prinsip dan aturan Badan Perdagangan Dunia (WTO)," jelas Mendag Lutfi dalam pernyataan resminya, Kamis (25/2).

Dari situ bisa tergambar bahwa Uni Eropa ingin melindungi komoditas dan kepentingannya. Namun, Indonesia pun demikian, apalagi di tengah berkembangnya industri nikel. Lutfi menantang WTO bisa membuktikan tuduhan tersebut.

"Kita akan ikuti proses sengketa sesuai proses yang sudah disepakati, kita akan melayani sengketa ini di WTO, dan saya anggap ini proses yang sebagai negara menjunjung tinggi hukum proses baik dan benar jadi kita layani mereka di sana. Kita akan hire pasukan legal terbaik dan kita akan perjuangkan hak-hak perdagangan kita," sebutnya.

Ribut Soal Produk Ban dengan Turki

Pada medio 2009, Pemerintah Turki menerapkan bea masuk anti dumping sebesar 36%, akibatnya terjadi kelesuan volume ekspor hingga 30% dari sebelumnya.

"Ekspor ban kita ke Turki paling hanya US$ 15 juta per tahun, kecil sekali, cuma masalahnya itu justru yang akan kita kembangkan adalah pasar Eropa Timur," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane dilansir dari detikcom.

Ia bilang nilai ekspor ban Indonesia ke Turki per tahunnya mencapai US$ 15 juta namun pasca kebijakan tersebut akan terjadi penurunan ke angka US$ 10 juta per tahun.

Penurunan tersebut karena dengan adanya bea masuk anti dumping maka nilai kompetitif harga produk ban Indonesia akan tergerus.

Vietnam Bikin Ulah, Mobil RI Dibikin Ribet

Vietnam tercatat beberapa kali coba menghalangi produk ekspor Indonesia masuk ke dalam wilayahnya. Pada 2018, produk mobil Indonesia sempat tertahan selama 3 bulan akibat kebijakan pemenuhan sertifikat persetujuan tipe kendaraan atau vehicle type approval (VTA) tipe utuh (completely build up/CBU).

Setahun berselang, ada penerapan pajak konsumsi spesial (special consumption tax) bagi barang impor. Vietnam membebani pajak ekstra terhadap mobil-mobil yang diimpor dari Negara lain, termasuk dari Indonesia.

Teranyar, Vietnam sebagai negara dengan pasar otomotif terbesar kedua bagi Indonesia, bakal memberlakukan standar emisi Euro 5. Kebijakan itu bisa jadi pengganjal bagi industri otomotif yang saat ini masih menerapkan standar emisi Euro 4.

"Negara selalu coba menciptakan technical barrier karena dia ingin industrinya tumbuh. Mereka cari cara itu kan teknikal, tapi kalau kita bisa penuhi kan nggak ada masalah," kata Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara kepada CNBC Indonesia, Jumat (30/7/21).

Ia juga menyatakan industri dalam negeri sudah bersiap dalam menyesuaikan aturan tersebut. secara teknologi, pabrikan otomotif sudah memiliki teknologinya dari negara asal untuk diadopsi di Indonesia. Indonesia juga sudah berpengalaman ketika beradaptasi dari Euro 2 ke Euro 4 beberapa tahun lalu.

"Bisa, nggak ada masalah, yang perlu merapatkan barisan dalam negeri. Kita kan Euro 4, kalau bisa lompat ke Euro 6 lebih dulu dari negara-negara besar lain akan memberi keunggulan lebih baik seperti Euro 2 tapi negara lain udah Euro 4 ya akhirnya kita bisa produksi euro 4," kata Kukuh.

Kala itu, muncul Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/2017 Tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, Dan Kategori O diundangkan pada 7 April 2017. Sementara penerapan Euro 6 kendaraan berbahan bakar solar dari yang semula direncanakan pada 2021 mundur menjadi 2022 atas permintaan industri otomotif.

"Kita kan ga ingin diganggu, kita harus tetap unggul, kita kan sudah swasembada seluruh kebutuhan bisa dipenuhi, memang ada impor tapi impornya cenderung turun, jumlahnya relatif sedikit tapi secara generik bisa dipenuhi oleh dalam negeri. Mobil menengah atas kita juga bisa ekspor," kata Kukuh.

Selain produk-produk tadi, masih banyak produk Indonesia dipersoalkan di pasar ekspor terkait restriksi perdagangan. Di sisi lain, Indonesia juga tak sedikit melakukan restriksi perdagangan terhadap produk impor yang dianggap terlalu dominan di pasar atau ada indikasi dumping sehingga mengganggu industri lokal.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tak Disangka Produk RI Bikin Panik Negara Lain, Lolos Ancaman

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular