Menimbang Secara Ilmiah, PPKM Level 4 Lanjut atau Tidak?
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat atau kini bernama PPKM Level 4 akan berakhir pada Minggu (25/7/2021) pukul 23:59 WIB.
PPKM seharusnya berakhir pada Selasa (20/7/2021) lalu. Namun, pemerintah kembali memperpanjang hingga esok hari, karena kasus aktif virus corona (Covid-19) masih cukup tinggi.
Namun jika dianalisis secara ilmiah, bolehkah pemerintah memperlonggar PPKM? Pada Rabu (21/7/2021) lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) merilis laporan riset mingguannya.
WHO menyatakan bahwa situasi penularan Covid-19 di Indonesia sangat tinggi. WHO masih menyarankan pembatasan ketat dilakukan untuk membendung tingginya tingkat penularan.
Imbauan WHO tersebut tertuang dalam Situation Report-64 yang dirilis oleh WHO pada Selasa (20/7/2021). Situation report ini rutin dirilis setiap pekan oleh WHO. Ini merupakan laporan per 21 Juli 2021.
WHO memaparkan bahwa 32 provinsi di Indonesia mengalami lonjakan jumlah kasus. Sebanyak 17 provinsi di antaranya bahkan mengalami peningkatan hingga 50 persen.
"Selama sepekan, antara 12 hingga 18 Juli, 32 dari 34 provinsi melaporkan peningkatan jumlah kasus, sementara 17 di antaranya mengalami peningkatan kasus yang mengkhawatirkan sebesar 50 persen atau lebih; 21 provinsi (8 provinsi baru ditambahkan sejak minggu sebelumnya) sekarang telah melaporkan varian Delta; dan tes positif proporsinya lebih dari 20 persen di 33 dari 34 provinsi," tulis WHO dalam laporannya.
Menurut riset WHO, peningkatan penularan virus tampaknya didorong oleh empat faktor, yakni sirkulasi Variant of Concern (VOC) yang lebih menular, relaksasi tindakan sosial kesehatan masyarakat, dan pengendaliannya terhadap kelompok yang lebih rentan terkena virus sebagai akibat dari distribusi vaksin yang tidak merata di seluruh dunia.
Sementara itu menurut Prof. Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara mengatakan bahwa keputusan itu bisa menjadi buah simalakama, yakni berada di tengah-tengah antara kepentingan ekonomi maupun kesehatan.
Ia menilai ada beberapa poin yang perlu menjadi perhatian sebelum mengambil keputusan. Pertama adalah harus mengikuti anjuran WHO agar pengetatan pergerakan (Public Health and Social Measure atau PHSM) dilakukan lebih ketat.
"Yang dianjurkan dari kacamata kesehatan pengetatan atau pembatasan sosial diteruskan, jadi saya setuju dengan melanjutkan pembatasan," kata Tjandra dalam penjelasannya kepada CNBC Indonesia, Sabtu (24/7/21).
Pertimbangan lain adalah mengenai potensi padatnya fasilitas kesehatan hingga pasien yang tidak tertampung. Kondisi ini pernah terjadi pada awal Juli lalu, di mana banyak pasien tidak mendapatkan slot penanganan karena terbatasnya kapasitas rumah sakit.
"Memang harus dihitung keseluruhan termasuk beban kesehatan yang kewalahan. Sekarang BOR (bed occupancy rate) relatif sudah menurun ini, karena tempat tidur ditambah makanya BOR turun. Kalau kasus bisa dikendalikan bagus-bagus aja. Kalau kasus terus bertambah maka bed juga akan penuh," jelas Tjandra.
Karena itu, jika memang ada pertimbangan akan dilakukan pelonggaran, maka perlu dihitung betul dampaknya. Setidaknya, kata dia lagi, pemerintah melihat korban yang mungkin akan jatuh sakit dan bahkan meninggal, beban Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes).
"Pada ujungnya kemungkinan (akan ada) dampak pada roda ekonomi juga kalau kasus jadi naik tidak terkendali," tegasnya.
"Jangan sampai pelonggaran diberikan karena alasan ekonomi dan lalu situasi epidemiologi jadi memburuk maka dampak ekonominya malah bukan tidak mungkin jadi lebih berat lagi.".
Namun ia tak menampik dari sisi ekonomi harus ada penyesuaian. Selagi sektor formal yang masih menerima gaji bulanan diminta bekerja dari rumah, sektor informal bisa mulai dilonggarkan.
"Asal jangan kontak dekat langsung dengan pelanggan, artinya sektor informal mulai dilonggarkan bertahap. Namun, sektor esensial dan kritikal yang beroperasi hanya dalam bangunan tersendiri, tidak boleh bersama," tegasnya.
Menurutnya bentuk PPKM idealnya memang tetap seperti sekarang. Tetapi semua sektor terdampak harus mendapat bantuan sosial.
"Positivity rate dalam beberapa hari terakhir masih sekitar 25%. Bahkan kalau berdasar PCR maka angkanya lebih dari 40%. Itu juga berhadapan dengan varian Delta yang angka reproduksinya (Ro atau mungkin Rt) nya dapat sampai 5,0 - 8,0," ujarnya.
"Artinya potensi penularan di masyarakat masih amat tinggi sekali, sehingga pembatasan sosial masih amat diperlukan untuk melindungi masyarakat kita dari penularan dan dampak buruk penyakit Covid-19," tutupnya.
Dari laporan riset WHO dan pendapat dari mantan Direktur WHO Asia Tenggara tersebut dapat menjelaskan bahwa pemerintah perlu lebih berhati-hati membuat kebijakan, agar pandemi Covid-19 di dalam negeri tidak semakin mengkhawatirkan.
(chd/chd)