Drama Smelter Freeport, Dari Minta Penundaan Sampai Deal EPC

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
16 July 2021 11:15
Lahan Smelter Freeport  di Gresik (CNBC Indonesia/Wahyu Daniel)
Foto: Lahan Smelter Freeport di Gresik (CNBC Indonesia/Wahyu Daniel)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Freeport Indonesia (PTFI) akhirnya menunjuk PT Chiyoda International Indonesia sebagai kontraktor kegiatan Engineering, Procurement, and Construction (EPC) untuk proyek Smelter Manyar, kawasan industri Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur.

Kemarin, Kamis (15/07/2021), PT Freeport Indonesia dan PT Chiyoda International Indonesia menandatangani kontrak EPC untuk pembangunan smelter baru berkapasitas pengolahan 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan pembangunan fasilitas Precious Metal Refinery (PMR). FreeportĀ pun menargetkan pembangunan smelter ini bisa tuntas pada 2023.

Presiden Direktur PTFI Tony Wenas mengatakan, penandatanganan kontrak ini menegaskan komitmen Freeport untuk membangun smelter, sesuai dengan kesepakatan divestasi tahun 2018. Di tengah berbagai tantangan pandemi Covid-19 yang dialami Indonesia dan seluruh pihak yang terlibat dalam proyek ini.

"Kami terus melakukan penyesuaian agar kami dapat terus bekerja sambil tetap mengedepankan kesehatan dan keselamatan seluruh tenaga kerja serta masyarakat di sekitar area kerja," tuturnya, seperti dikutip dari keterangan resmi Freeport, Kamis (15/07/2021).

Direktur PT Chiyoda International Indonesia Naoto Tachibana juga menegaskan komitmennya untuk ikut berkontribusi bagi Indonesia melalui pembangunan Smelter Manyar.

Naoto berharap, pengalaman dan kepemimpinan Chiyoda sebagai salah satu perusahaan terkemuka di dunia akan membantu mewujudkan tujuan optimalisasi hilirisasi nasional.

"Penandatanganan kontrak ini menandai teguhnya komitmen PT Chiyoda International Indonesia untuk turut berkontribusi bagi bangsa dan negara Indonesia. Kami akan melakukan yang terbaik, memastikan proyek ini dapat kami selesaikan tepat waktu," tutur Naoto.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin menyambut baik penandatanganan kontrak antara kedua belah pihak.

"Penandatanganan ini menjadi energi positif di tengah berbagai tantangan yang sedang Indonesia hadapi. Pemerintah melalui Kementerian ESDM mendorong akselerasi dari proyek ini, dan akan terus bekerja sama dengan PTFI untuk membantu memastikan pengerjaan proyek ini dapat diselesaikan tepat waktu," ujar Ridwan.

Meski Freeport enggan menyebutkan berapa nilai kontrak EPC ini, namun Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak sempat menuturkan bahwa perkiraan nilai investasi untuk pembangunan proyek smelter baru Freeport di Manyar, JIIPE, Gresik ini mencapai US$ 3 miliar.

Penunjukan kontraktor EPC ini bukanlah hal yang mulus, dalam perjalanannya banyak kendala dihadapi, mulai dari adanya pandemi sehingga Freeport minta penundaan pembangunan, bahkan sempat dikabarkan batal dan akan bekerja sama dengan perusahaan asal China yakni Tsingshan untuk membangun smelter tembaga di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Pada Agustus 2020 lalu, progres pembangunan smelter Freeport ini baru mencapai 5,8%. Padahal, smelter ini ditargetkan beroperasi pada 2023 mendatang sesuai dengan kesepakatan saat divestasi pada 2018 lalu.

Jika smelter ini tidak rampung sesuai dengan target yang telah ditentukan, maka Freeport haram melakukan ekspor konsentrat. Hal ini juga tertuang dalam Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) di mana ekspor mineral yang belum dimurnikan seperti konsentrat hanya dibatasi tiga tahun sejak UU ini berlaku pada 10 Juni 2020. Artinya, setelah 10 Juni 2023, maka tidak boleh ada lagi ekspor konsentrat.

Mantan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak sebelumnya mengatakan, pembangunan smelter Freeport ini bisa dilakukan sendiri oleh perusahaan atau mencari mitra, sehingga nanti ada pembagian kepemilikan modal di dalam smelter tersebut.

"Batas akhir untuk melakukan ekspor raw material itu di 2023. Jadi, mereka wajib selesai smelter barunya di 2023," tutur Yunus.

Di tengah proses pembangunan smelter yang progresnya masih sekitar 5% itu, pandemi Covid-19 menyerang. Berbagai pembatasan mobilitas masyarakat diterapkan oleh pemerintah RI dan negara lainnya, sehingga Freeport menyebut pembangunan smelter terkendala.

Oleh karena itu, PT Freeport Indonesia pun menyampaikan permohonan penundaan penyelesaian pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru di Gresik, Jawa Timur menjadi 2024 kepada Kementerian ESDM.

Permohonan penundaan ini sempat disampaikan Wakil Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Jenpino Ngabdi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (27/08/2020).

Pandemi ini menurutnya telah mengganggu finalisasi kontrak Engineering, Procurement and Construction (EPC). Pasalnya, kontraktor harus melakukan finalisasi biaya dan waktu penyelesaian pembangunan.

Namun karena adanya pembatasan mobilitas di negara asal kontraktor, sehingga ini menyulitkan mereka bekerja dengan efektif.

"Akibat dari dampak Covid-19, pencapaian progress masih di bawah target karena kontrak EPC belum bisa difinalisasi oleh EPC kontraktor kami," jelasnya.

Namun demikian, permohonan penundaan pembangunan smelter ini ditolak oleh sejumlah anggota DPR RI. Anggota Komisi VII DPR RI Rudy Mas'ud meminta jangan sampai masalah teknis dan klasik menjadi alasan untuk menunda pembangunan smelter.

"Jangan sampai pembangunan smelter jadi isapan jempol saja. Ini penundaan saya rasa tidak gentleman sekali. Ini pengkajian multilateral, banyak negara terlibat," paparnya.

Penolakan penundaan pembangunan smelter juga disampaikan Anggota Komisi VII lain Rofik Hananto. Ia mengatakan meningkatkan nilai tambah menjadi amanat dari undang-undang, di mana salah satunya melalui pembangunan smelter, sehingga Indonesia tidak hanya mengekspor barang mentah saja.

"Terlalu banyak masyarakat dengan konsep seperti ini, kami dari Fraksi PKS sangat tidak setuju dengan alasan apapun, Covid-19 menunda pembangunan smelter sampai 2024. Harus selesai 2023," tegasnya.

Jika pembangunan lewat dari jadwal yang telah ditentukan menurutnya, ini tindakan yang menabrak aturan UU Minerba yang baru saja diterbitkan. Jika relaksasi diberikan oleh pemerintah, imbuhnya, pemerintah juga melanggar undang-undang.

"Kami sangat tidak setuju alasan Freeport minta ditunda, relaksasi sampai tahun 2024. Rugikan bangsa dan negara," jelasnya.

Perusahaan asal China, Tsingshan Group mendekati Freeport untuk membangun smelter tembaga baru di Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Bahkan, Tsingshan dikabarkan mau membiayai 92,5% dari nilai proyek yang diperkirakan sekitar US$ 2,5 miliar. Artinya, Freeport hanya membiayai sekitar 7,5% dari nilai proyek tersebut.

Meski didekati perusahaan lain untuk kerja sama membangun smelter, namun Freeport tetap berkomitmen untuk tetap membangun smelter di kawasan industri terintegrasi JIIPE, Gresik, seperti yang kini tengah dikerjakan.

Deputi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, rencana kerja sama ini akan menarik buat Freeport karena nanti sebagian besar investasinya akan ditanggung oleh Tsingshan. Freeport hanya butuh investasi sebesar 7,5% dari total proyek.

"Selama ini Freeport bilang tidak profitable (menguntungkan), capex (belanja modal) mahal dan lainnya. Tsingshan punya teknologi, tekan angka capex dan berikan pendanaan capex yang maksimal. Freeport hanya perlu pendanaan sekitar 7,5% dari total proyek," ungkapnya.

Seto menyebut penawaran dari Tsingshan ini jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan proyek smelter yang kini tengah digarap Freeport di kawasan industri terintegrasi JIIPE, Gresik, Jawa Timur yang pendanaanya 100% dari Freeport.

Namun pada awal April 2021, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa rencana Freeport dengan Tsingshan Group untuk membangun smelter tembaga baru di Weda Bay ini batal.

Dia mengatakan, batalnya rencana Freeport untuk kerja sama dengan Tsingshan ini dikarenakan setelah dikaji, pembangunan smelter di Weda Bay ini tidak lebih baik daripada rencana pembangunan di kawasan industri terintegrasi di JIIPE, Gresik, Jawa Timur, yang kini memang tengah diproses Freeport.

"Tidak jadi," ungkap Ridwan kepada CNBC Indonesia saat ditanyakan apakah Freeport jadi join dengan Tsingshan di smelter Weda Bay.

Saat ditanya apa yang jadi pertimbangan batalnya rencana tersebut, dia pun menjawab, "Tidak lebih baik daripada rencana pembangunan di JIIPE," ungkapnya, Jumat (30/04/2021).

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular