PPKM Darurat: Pengusaha Tak Rela Bila Mal Ditutup Total!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku usaha ritel tidak akan menentang segala apapun keputusan pemerintah terkait aturan PPKM Mikro 'Darurat'. Namun, bila larangan pembukaan pusat perbelanjaan atau mal akan mempengaruhi keuangan peritel secara signifikan.
Ketua Umum Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, sektor esensial dalam segala aturan pembatasan memang tidak akan dilarang, karena terkait dengan hajat kebutuhan manusia. Namun saat ini untuk mendapatkan kebutuhan sektor esensial paling banyak didapatkan pada pusat perbelanjaan.
"Kita nggak akan lockdown, karena lockdown itu mahal sampai Rp 550 miliar. Jadi tidak mungkin. Yang kita gunakan itu kan istilah PPKM Mikro secara nasional. Kita berharap sektor esensial seperti makan dan minum tidak ditutup," katanya, Kamis (1/7).
"Bukan persoalan usaha ritel bagaimana, tapi bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari tanpa kesulitan. Nah, bicara untuk memenuhi kebutuhan ini didapatkan di dua tempat ritel modern atau pasar," katanya.
Sementara saat ini banyak masyarakat yang memenuhi kebutuhannya pada ritel modern, melihat pasar tradisional hanya beroperasi pagi hari. Roy menjelaskan penempatan ritel modern seperti supermarket dan hypermarket 80% berada dalam mal. Sehingga ada potensi masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan hidup hariannya.
"Bicara data untuk membeli kebutuhan sehari-hari 60% masyarakat Indonesia mereka beli di ritel modern kok cuma 30% yang di pasar tradisional," katanya.
Sedangkan hanya 20% supermarket dan hypermarket yang berdiri sendiri di Indonesia. Beda dengan mini market yang banyak tersebar di pelosok wilayah yang jumlahnya mencapai 32 ribu. Menurut Roy untuk kebutuhan harian belum bisa tercukupi dari pasokan barang-barang mini market.
"Masa kita beli ikan di minimarket, beli daging basah, daging fillet untuk kebutuhan bayi. Tidak semua barang kebutuhan ada di minimarket. SKU (Stock Keeping Unit) mini market nggak sampai 200, pasti si kita beli di hypermarket atau supermarket, nah itu banyak di mal," katanya.
Ia bilang minimarket tidak merepresentasikan kebutuhan pokok yang utuh. Ia bilang jika mal ditutup mau tidak mau supermarket juga tutup seperti kejadian tahun lalu saat PSBB. Ia mendorong hal ini perlu diperhatikan juga bagaimana opsi pemerintah terhadap ritel.
"Imbas lebih jauhnya barang UMKM ya terbuang kalo tutup. Padahal 35% barang di ritel modern berasal dari UMKM, hampir 7 juta UMKM terserap. Padahal agenda pemerintah saat ini juga sedang mendorong UMKM, jadi ya untuk apa kalau tidak bisa dagang," katanya.
Roy menjelaskan skenario terburuk dari penutupan pusat belanja, ujungnya harus kembali merumahkan karyawan. Karena banyak masyarakat banyak yang menganggur membuat daya beli masyarakat akan semakin menurun.
"Kita berharap mal buka dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Tapi kalau tutup mohon disediakan insentif. Karena kita tidak mungkin akan di lockdown mahal biayanya," katanya.
Dampak penutupan mal menurut Roy tentu sangat berdampak pada ritel fashion. Pengusaha juga sudah pasrah akan mengikuti semua keputusan pemerintah.
"Fashion udah pasrah aja kita. Orang juga sekarang nggak mementingkan beli baju, lebih penting perut. Jadi kalau mal masih buka masih ada potensi kehidupan (ritel fashion) tidak mati," katanya.
Saat ini 90% ritel fashion berada di dalam mal. Sehingga dia meminta supaya mal tidak ditutup supaya masih ada pendapatan, walaupun dipastikan tidak akan besar. Paling tidak dari aturan PPKM Mikro Darurat hanya ada pengetatan bukan penutupan. Jika ditutup pengusaha meminta pemerintah untuk diberikan kompensasi untuk bertahan.
Simak Pidato Presiden Jokowi Putuskan PPKM Mikro Darurat di Bawah Ini
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mal Dipaksa Tutup Total, Pengusaha Komentar Begini!
