
Lagi, UU Minerba Digugat ke Mahkamah Konstitusi

Jakarta, CNBC Indonesia - Koalisi Masyarakat Sipil yang mengatasnamakan Gerakan #BersihkanIndonesia hari ini, Senin (21/06/2021) mengajukan judicial review (JR) atau uji materiil Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Uji materiil ini diajukan oleh dua warga dan dua lembaga masyarakat sipil, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. Sementara dua warga sebagai pemohon yaitu Nurul Aini (46), warga dari Desa Sumberagung, Kabupateng Banyuwangi, Jawa Timur, dan Yaman, nelayan dari Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Bangka Belitung.
Adapun sejumlah pasal dalam UU Minerba yang digugat ini antara lain berkaitan dengan sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan minerba, jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang, perpanjangan izin otomatis atas Kontrak Karya dan PKP2B tanpa evaluasi dan lelang, serta pasal pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilirnya di pembangkitan.
Salah satu pasal yang disoroti adalah Pasal 162, yang berdampak pada banyaknya kriminalisasi pada warga.
Pasal ini berbunyi "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."
Dalam keterangannya yang ditayangkan melalui akun YouTube, Senin (21/06/2021), Lasma Natalia, Penasehat Hukum Penggugat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengatakan, ada beberapa hal yang digarisbawahi dalam pengajuan judicial review ini.
Pertama, soal pasal kewenangan dari daerah yang dialihkan ke pusat.
"Kewenangan berpindah hambat akses masyarakat di daerah yang berhadapan langsung dengan kegiatan pertambangan tersebut," ungkapnya.
Lalu, terkait adanya jaminan di dalam Undang-Undang untuk operasi tambang. Jaminan tersebut menurutnya tidak pada prinsip hidup yang baik. Menurutnya, mestinya warga diberikan ruang aspirasi dan kerugian yang dialami sebagai evaluasi.
"Jaminan otomatis Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), masalah karena nggak ada proses evaluasi dan negara malah berikan jaminan," tegasnya.
Kemudian, terkait pasal pidana yang digunakan untuk mengkriminalisasi warga yang menolak pertambangan. Dia mengatakan, ada beberapa warga yang dilaporkan dengan Pasal 162.
"Pasal pidana digunakan untuk kriminalisasi warga yang menolak pertambangan, ada warga lain yang jadi terlapor pakai pasal 162," ungkapnya.
Sementara itu, Jauhar Kurniawan dari LBH Surabaya mengatakan salah satu alasan warga yang dikriminalisasi adalah karena dianggap merintangi aktivitas pertambangan.
"Hanya kita berupaya melindungi lingkungan dan menyuarakan aspirasi, tapi dianggap sebagai upaya untuk menghalangi," paparnya.
Menurut Jauhar, dia juga mendapat kabar dari salah satu penolak tambang yang didatangi ratusan orang yang pro pada tambang, karena dianggap meresahkan masyarakat.
"Jadi seperti itu desa Pesanggrahan Banyuwangi. Pembuat UU ini niat untuk pidanakan," paparnya.
Nurul Aini, Warga Desa Sumberagung, Banyuwangi sebagai pemohon JR mengatakan bahwa dirinya mengajukan JR ke MK dengan alasan kerusakan lingkungan yang semakin parah. Lalu, masalah kriminalisasi, dia mengaku menjadi salah satu korban.
"Kalau masalah intimidasi sudah biasa. Seolah-olah saya menghalangi aktivitas pertambangan. Preman tambang (yang intimidasi) istilahnya saya mau dibakar rumah saya," paparnya bercerita.
Dia menegaskan bahwa dirinya menolak tambang yang ada di wilayah Tumpang Pitu karena akibat pertambangan ini, lingkungannya menjadi rusak.
"Gunungnya hancur, dulu Tumpang Pitu serapan air, sekarang kalau kemarau sudah gak ada air. Itu juga terganggu soal ketersediaan air," lanjutnya.
Pemohon lain Yaman, Nelayan Desa Matras, Bangka Belitung mengatakan jika dia pernah dipanggil pihak kepolisian. Menurutnya warga keberatan dengan adanya tambang di wilayah tangkap nelayan dan termasuk wilayah pariwisata.
"Kalau bisa UU ini dibatalkan, karena sangat memberatkan nelayan, Pasal 162," ujarnya.
