RI Punya Harta Karun Baru 'Es Api', Aman Dieksploitasi?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
17 June 2021 07:01
Penduduk Greenland bergulat dengan pemanasan global
Foto: Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam sambutan acara

Energy International Agency (EIA) mengestimasikan bahwa Es Api sudah bisa diproduksi secara komersial pada 2025, dengan biaya US$ 4,7 hingga US$ 8,6 per MMBtu. Prediksi itu termaktub dalam laporan "Renewable 2015: Global Status Report, Renewable Energy Policy Network for the 21st Century" yang diterbitkan pada 2015.

Biaya ini terhitung murah jika dibandingkan dengan rerata biaya produksi energi lainnya. Sebagai perbandingan, biaya memproduksi tiap energi dari minyak tanah (kerosin) mencapai US$ 23,97/MMbtu. Batu bara yang saat ini menjadi energi termurah biaya produksinya mencapai US$ 10,18/MMBtu.

qSumber: AMS Energy (2021)

Dengan demikian, Es Api ini memang sangat menjanjikan secara komersial dan ketersediaannya berlimpah dibandingkan energi fosil konvensional yang kian menipis. Namun hara dicatat, meski gas metana lebih bersih ketimbang batu bara dan minyak bumi, ia tetaplah senyawa hidrokarbon, yang memiliki efek rumah kaca sama seperti karbon dioksida.

Menurut dokumen Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tiap 1 ton gas metana memiliki efek rumah kaca 28 kali lebih buruk dari 1 ton CO2 dalam kurun waktu 1 abad. Ringkasnya, perlu 1 tahun bagi gas metana untuk menimbulkan kerusakan sama seperti kerusakan yang ditimbulkan oleh emisi CO2 selama 28 tahun.

Selain itu, ada kekhawatiran mengenai potensi tsunami. Di kalangan masyarakat Jepang, proyek ini mendapat penolakan karena kekhawatiran bahwa perubahan tekanan di dasar permukaan laut bakal mempengaruhi lantai samudera dan memicu gempa. Jika dinding laut roboh dalam skala masif karena perubahan tekanan, dikhawatirkan terjadi tsunami.

"Hilangnya metana hidrat bisa memiliki konsekuensi fatal. Gas hidrat bertindak seperti semen yang mengisi pori-pori antara partikel endapan dan menstabilkan dasar laut" tulis World Ocean Review dalam laporan berjudul "How Climate Change Alters Ocean Chemistry" (2010).

Kalangan pemerhati lingkungan juga mengkhawatirkan praktik eksploitasi Es Api di dasar laut berisiko merusak biota laut, karena permafrost tempat Es Api bersemayam juga merupakan habitat jutaan mikroplankton termasuk bakteri dan jasad renik berusia ribuan tahun.

Tidak ada yang tahu apa jadinya jika bakteri-bakteri kuno tersebut tersebut terlepas ke atmosfer dan mengada di tengah manusia modern. Akankah memicu gangguan kesehatan atau merusak ekosistem di permukaan bumi?

Namun, lingkaran setan pemanasan global bisa memberi alasan solid untuk melanjutkan eksplorasi Es Api. Pasalnya, peningkatan suhu bumi secara alami bakal membuat lapisan es dan permafrost mencair, yang diikuti terlepasnya gas metana ke atmosfer. Daripada terbuang langsung, lebih baik dipakai untuk pembakaran, begitu kurang lebih logikanya.

Pertanyaannya, lagi-lagi siapkah Indonesia mengekstraksi Es Api secara aman, dengan mempelajari know-how-nya? Alih-alih sukses menangkap gas metana, apakah justru akan mempercepat emisinya ke atmosfer? Hal itu semestinya dikaji terlebih dahulu, terlepas dari sebesar apapun potensi yang terkandung.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/sef)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular