
Pabrik Rokok Sekarang Lagi Tak Happy, Ini Pemicunya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pabrik rokok hingga petani tembakau saat ini sedang galau. Kabar revisi aturan penggunaan produk tembakau sedang santer beredar yang mengancam nasib mereka.
Kementerian Perindustrian buka suara terkait rencana revisi Peraturan Presiden (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan oleh kementerian kesehatan (Kemenkes).
Rencana revisi UU tersebut sebelumnya mendapat penolakan keras dari elemen industri hasil tembakau (IHT) nasional karena dianggap bisa mematikan industri. Mereka khawatir revisi PP tersebut akan berimbas pada regulasi yang sebelumnya sebatas pengetatan menjadi pelarangan.
"Sementara saat seharusnya lebih fokus ke pertumbuhan ekonomi, maka belum waktunya untuk membahas revisi PP tersebut," kata Direktur Jenderal Industri Agro Abdul Rochim kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/6/21).
Pilihan Redaksi |
Kemenperin tentu salah satu yang punya kepentingan, karena industri rokok adalah sektor binaan mereka. Abdul Rochim menilai waktu pembahasan revisi PP saat tak cocok karena hingga saat ini pertumbuhan industri sektor pengolahan tembakau ambrol. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan tembakau mengalami penurunan yang sangat dalam.
Pada tahun 2020 lalu, pertumbuhannya terkontraksi hingga -5,78%, padahal di dua tahun sebelumnya sempat mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 3,52% untuk 2018 serta 3,36% untuk 2019. Hingga triwulan pertama ini, angka pertumbuhannya kian ambrol.
"Kondisi saat ini industri hasil tembakau masih berat dan pada TW I tumbuh negatif yaitu -9,58," kata Abdul Rochim.
Rancangan revisi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2012 dikhawatirkan makin membuat industri tembakau kian ambles. Apalagi industri ini baru saja mendapat kenaikan cukai pada awal tahun ini. Untuk itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengaku sudah melakukan pembicaraan dengan beberapa pihak terkait.
"Kita jalin komunikasi tentu dengan Kemenperin, Kemendag termasuk juga Kementan. Karena ini mengancam industri," kata Budidoyo kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/6/21).
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Muhammad Nur Azami. Menurutnya, dampak yang ditimbulkan dari revisi PP 109/2012 ini sangatlah dahsyat karena bukan hanya menghajar sistem bisnis industri melainkan juga mendeterminasi faktor sosial dari pelaku industri hulu ke hilir.
"Jadi benang merah yang dihasilkan dari revisi PP 109 ini adalah menghajar bisnis pabrik rokok dengan kebijakan larangan-larangan yang berkaitan dengan pemasaran, distribusi dan perdagangan. Lalu menghajar konsumen dengan pembatasan-pembatasan terhadap akses produk hasil tembakau dan stigmatisasi buruk di lingkungan sosial masyarakat. Di hulu, petani tidak dapat menjual tembakau dan cengkeh sehingga mereka terpaksa untuk berhenti menanam tembakau," paparnya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 1 Februari 2021, Harga Rokok Resmi Naik